ASPEK HUKUM TANAH KAS DESA (TKD) DALAM SISTEM UUPA DAN PERANANNYA DALAM PENYELENGGEARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BATANG HARI PROPINSI JAMBI

ASPEK HUKUM TANAH KAS DESA (TKD) DALAM SISTEM UUPA DAN PERANANNYA DALAM PENYELENGGEARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BATANG HARI  PROPINSI JAMBI

 

THESIS

 

Oleh

 

DASRIL RADJAB

 

 

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN  1997

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Aspek Hukum Tanah Kas Desa (TKD) Dalam Sistem UUPA dan Peranannya dalam Penyelenggearaan Pemerintahan Desa Di Kabupaten Daerah

Tingkat II Batang Hari  Propinsi Jambi

Dasril Radjab[1]

Pembimbing

Prof.Dr.A.P.Perlindungan,SH[2]

Prof.H.Muhamd Abduh,SH[3]

Hj.Chadidjah Dalimunte, SH,.Hum[4]

 

Menurut  Undang-Undang No 5 Tahun 1979 , salah satu pendapatan asli desa yang digunakan untuk menyeenggarakan pemerintahan desa, baik untuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan desa adalah Tanah Kas Desa. Tanah ini menurut Sistem UUPA termasuk ke dalam jenis Hak Pakai (khusus) dan juga harus didaftar guna mencapai kepastian hukum.

Mengingat Tanah Kas Desa belum ada yang dikuasai oleh Pemerintahan Desa di Propinsi Jambi, oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi dikeluarkan kebijaksanaan pengadaan Tanah Kas Desa, sebagaimana yang dituangkan ke dalam Instruksi Gubernur No 6 Tahun 1985 dengan tujuan agar desa mempunyai sumber pendapatan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Cara pengaaan Tanah Kas Desa dilakukan dengan dua cara , yakni membangun kebun Tanah Kas Desa dan membeli kebun atau sawah yang sudah jadi. Untuk pengadaan Tanah Kas Desa dengan membeli kebun atau sawah yang sudah jadi perlu dilakukan pembebesan/pelepasan hak atas tanah dari pemilik atau yang menguasainya dan kemudian didaftarkan.

Tujuan penelitian untuk mengetahui proses pengadaan Tanah Kas Desa , pelaksanan pendaftaran Tanah Kas Desa dan peranannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sumbangan pemikiran kepada Ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, Ilmu Hukum Agraria dan pemerintahan desa khususnya.  Di samping itu bahan masukan bagi Pemerintahan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari dan bahan rujukan bagi daerah lain dalam pengadaan Tanah Kas Desa.Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari dengan lokasi enam kecamatan dan 21 desa sampel dan 21 responden

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan penenuan sampel dilakukan dengan dua cara , yakni secara proposional untuk desa sampel dan untuk responden pemilik/yang menguasai tanah diambil keseluruhannya, pengambilan data dilakukan dengan pengisian kuisioner dan wawancara

Data yang diperoleh kemudian diklasfikasikan dan dianalisis sehingga tergambar fakta, aspek hukum pengadaan Tanah Kas Desa dan peranannya Tanah Kas Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Hasil penelitian menunjukan, bahwa dalam proses pengadaan Tanah Kas Desa diawali dengan usyawarah tentang kesediaan pemilik atau yang menguasai tanah untuk menjual tanahnya dan “harga jual”(ganti rugi) setelah disepakati kemudian Tanah Kas Desa dilakukan pembebasan/pelepasan haknya dan kemudian didaftarkan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan peranannya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa baru 3 % , sedangkan untuk pembangunan belum ada, oleh karena itu dapat disimpulkan ,proses pengadaan Tanah Kas Desa dan pendaftarannya telah sesuai dengan isi peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangka peranannya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa belum menunjukan peranan yang berarti. Agar Tanah Kas Desa berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa disarankan agar dikurangi target perluasannya dan mengaktifkan kembali pemeliharaannya

Kata Kunci:TKD, Pelepasan Hak dan pendaftaran Tanah

 

 

 

 

 

 

 

Kata Pengantar

Berkat Rahmat dan kurnia dari ALLAH S.W.T ,penulis telah dapat merampungkan penulisan Thesis ini , sebagai persyaratan pendididkan di Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Rampungnya penulisan ni tidak lepas budi baik dari berbagai pihak, yang telah memberikan bantuan baik berupa buku-buku yang diperlukan, maupun materi dan kemudahan yang diberikan Pascasarjana USU Medan.

Penulisan ini Thesis yang berjudul “Aspek Hukum Tanah Kas Desa (TKD) Dalam Sistem UUPA dan Peranannya dalam Penyelenggearaan Pemerintahan Desa Di Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari  Propinsi Jambi” Penulisan ini masih sederhana, keswderhanan ini disebabka terbatas kemampuan dan penguasaan ilmu pengerahuan yang dimiliki , akan tetapi penulis telah berusaha semaksimalnya, namun tiada gading yang retak.

Selesainya penulisan ini sudah sepatutnya pula penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, kepada yang terhormat:

  1. Bapak Prof.Dr.A.Pperlindungan, SH sebagai pembimbing Utama dalam penulisan thesis ini
  2. Bapak Prof. H.Muhamad Abduh,SH sebagai pembantu pembibng penulisan Thesis ini
  3. Ibu Hj.Chadidjah Dalimunte, SH,M.hum sebagai pembantu pembimbing penulisan Thesis ini
  4. Rektor USU Medan
  5. Direktur dan para Asisten Direktur Program Pascasarjana USU Medan
  6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana USU Medan
  7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaa Prof Dr.A.P Perlidungan, SH Medan
  8. Rektor Universitas Jambi, Jambi
  9. Dekan Fakultas Hukum Unja , Jambi
  10. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jambi
  11. Kepala Biro Bina Pemerintahan Desa Propinsi Jambi
  12. Kepala Kantor Prtanahan Kabupaten Batanghari
  13. Kabag Pemerintahan SETWILDA Tingkat II Batanghari
  14. Camnat Sakernan , Jambi Luar Kota,Pemayung, Muara Bulian , Muaro Tembesi dan Batin XXIV
  15. Kepala Desa Penelitian
  16. Ir.M.Djamil Ritonga,M.Sc Sekretariat Program Pascarsarjana USU Medan
  17. Ediwarman,SH , Dosen Fakulas Hukum USU Medan
  18. Kabib Nawawi,SH dan Farizal,SH Dosen Fakultas Hukum Unja
  19. Mahmud Iswan , SH Kabag Perundang-ndangan Biro Hukum Propinsi Dati I Jambi
  20. Kailani,SH , Kabah Hukum Kabupaten Dati II Batanghari
  21. Djamal Ritonga , Karyawan Program Pascasarajana USU Medan

Selain kepada beliau-beliau terebut tidal lupa penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalam kepada istri yang tercinta Osrida dan anak-anak penulis Annisa Rahmi, Arianti Gusti dan Tria saraswati yang telah ikut mndoakan penulis dan juga tidak kalah penting doa yang tak putus-putusnya dari orangtua penulis Ayahnda Radjab dan Ibunda Jauhariah Tando serta Bapak dan Ibu mertua Idris Boer dan Nurlis selama penulis menimba ilmu di Program Pascasarjana USU Medan  ini.

Akhirna kepada ALLAH jua penulis berdoa , semoga bantuan , bimbingan dan arahan yang telah diberikan , akan menjadi amal ibadah dan mendapat imbalan yang layak dariNYA

Medan, Agustus 1997

Penulis,

Dasril Radjab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

RINGKASAN…………………………………………………………………………………………….

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………..

RIWAYAT HIDUP…………………………………………………………………………………….

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………

DAFTAR TABEL………………………………………………………………………………………

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………………………….

BAB I          PENDAHULUAN…………………………………………………………………….

  1. Latar Belakang …………………………………………………………………….
  2. Perumusan Masalah……………………………………………………………….
  3. Tujuan Penelitian…………………………………………………………………..
  4. Faedah Penelitian………………………………………………………………….
  5. Keaslian Penelitian………………………………………………………………..

 

BAB II        TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………

  1. Pengertian Tanah Kas Desa…………………………………………………….
  2. Tanah Kas Desa Salah Satu Sumber Pendapatan Asli Desa………..
  3. Tujuan Pengadaan Tanah Kas Desa…………………………………………
  4. Pembebasan Tanah/Pelepasan Hak…………………………………………..
  5. Hak Pakai Khusus…………………………………………………………………
  6. Pendaftaran Tanah Dan Pendaftaran Hak Pakai Khusus…………….
  7. Pemerintah Desa……………………………………………………………………
    1. Perbedaan Desa Dan Keluarahan……………………………………….
    2. Susunan Organisasi Tata Kerja Pemerintahan Desa………………
    3. Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa…………………………….
    4. Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa……….

 

BAB III       METODE PENELITIAN…………………………………………………………

  1. Lokasi Penelitian…………………………………………………………………..
  2. Spesifikasi Penelitian……………………………………………………………..
  3. Sumber Data…………………………………………………………………………
  4. Metode Pengambilan Data……………………………………………………..
  5. Alat Pengumpul Data…………………………………………………………….
  6. Definisi Operasional………………………………………………………………
  7. Analisis Data………………………………………………………………………..

 

BAB IV       HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………..

  1. Hasil Penelitian……………………………………………………………………..
    1. Gambaran Umum Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari               
    2. Pengadaan Tanah Kas Desa………………………………………………
      1. Panitia/Badan Pelaksana Pengadaan Tanah Kas Desa………            
      2. Pelepasan Hak Atas Tanah……………………………………………
      3. Pembayaran Ganti Rugi Atau Ganti Usaha…………………….
      4. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Kas Desa…………………………..
        1. Proses Pendaftaran Tanah Kas Desa ……………………………..
        2. Alat-Alat Bukti yang Diperlukan…………………………………..
        3. Pemegang Hak Pakai (Khusus) Tanah Kas Desa……………..
      5. Peranan tanah Kas Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan desa              
        1. Pengelolaan tanah Kas Desa………………………………………..
        2. Perbandingan Hasil tanah Kas Desa dengan Sumber Pendapatan Lainnya                                                                                    ………
        3. Manfaat Tanah kas Desa terhadap Pembangunan Desa                 
  2. PEMBAHASAN………………………………………………………….
    1. Pengadaan Tanah Kas Desa………………………………………………
      1. Panitia Pengadaan tanah Kas Desa……………………………….
      2. Pelepasan Hak Atas Tanah…………………………………………..
      3. Pembayaran Ganti Rugi………………………………………………
      4. Pelaksanaan Pendaftaran tanah Kas Desa……………………………
        1. Proses pendaftaran tanah kas desa ……………………………….
        2. Alat-alat bukti yang diperlukan…………………………………….
        3. Pemegang Hak Pakai (Khusus) Tanah Kas Desa…………….
      5. Peranan Tanah Kas Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Desa               
        1. Pengelolaan Tanah Kas Desa……………………………………….
        2. Perbandingan Hasil Tanah Kas Desa Dengan Sumber Pendapatan Lainnya                                                                                    ………
        3. Manfaat Tanah Kas Desa Terhadap Pembangunan Desa               

 

BAB V        KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….

  1. KESIMPULAN……………………………………………………………………
  2. SARAN……………………………………………………………………………….

 

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………

LAMPIRAN


DAFTAR TABEL

Nomor                                                   Judul                                                Halaman

  1. Perincian Luas Wilayah Kecamatan, Jumlah Desa di Kabupaten DAT I II Batanghari 1994     ……………………………………………………………………………………………………..
  2. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan di Kabupaten DATI II Batanghari Tahun 1994……………………………………………………………….
  3. Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga Penducluk Kabupaten DATI II Batanghari Tahun 1996………………………………………………………………………………………………………
  4. Perkembangan Luas Tanaman Perkebunanan Rakyat Menurut Jenis Tanaman di Kabupaten DATI II Batanghari Tahun 1990 s/d 1994………………………………………………….
  5. Realisasi Proyek Pengadaan TKD Tahun 1985/ 1986 di Kabupaten DATI II Batanghari          ……………………………………………………………………………………………………..
  6. Keadaan TKD Pengadaan Tahun 1985/1986 di Kabupaten DATI II Batanghari                      
  7. Prakarsa Penentuan Calon Lokasi TKD di Kabupaten DATI II Batanghari                  
  8. Jumlah Kebun Karet Responden di Kabupaten DATI II Batanghari Tahun 1997                     
  9. Alasan Responden Bersedia Menjual Kebun Karet untuk  TKD……………
  10. Berita Acara Pelepasan Hak Atas Tanah Untuk Keperluan TKD di Kabupaten DATI II Batanghari………………………………………………………………………………………………
  11. Ganti Rugi/Ganti Usaha Kebun Karet TKD di Kabupaten DATI II Batanghari           
  12. Hasil Pembuatan Gambar Situasi TKD di Kabupaten DATI II Batanghari                   
  13. Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai TKD di Kabupaten DATI II Batanghari                      
  14. Nomor Buku dan Nomor Sertifikat serta Pemegang Hak Pakai Khusus TKD               
  15. Keadaan Perkembangan TKD di Kabupaten DATI II Batanghari Tahun 1997             
  16. Data Perkernbangan Keadaan Fisik/teknis Kebun TKD di Kecamatan Pemayung, Maret 1997 ……………………………………………………………………………………………………..
  17. APPKD di Kabupaten DATI II Batanghari………………………………………………..
  18. Perbandingan Hasil TKD dan Sumber Pendapatan Lainnya di dalam APPKD             

LAMPIRAN

 

  1. Surat Departumen Dalam Negeri Republik Indonesia No. 140/3442/PUOD, Perihal Pengadaan dan Pengelolaan Tanah Kas Desa ……………………………………………………………..
  2. S.E Gubernur KDH TK. I Jambi No. 143/3790/Pemdes tanggal 4 Mei 1990, Perihal Pengawasan terhadap hasil Tanah Kas Desa……………………………………………….
  3. PEMDA TK. I Jambi, No. 143/1663/Pemdes tanggal 5 April 1993, Perihal Pengawasan clan Penggunaan hasil Tanah Kas Desa……………………………………………………………..
  4. Berita Acara Pembayaran Ganti Usaha dan Pelepasan Hak Atas Tanah………….

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang

Sebelum Tahun 1979 penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia bentuk dan coraknya beraneka ragam, masing-masing daerah memiliki ciri-ciri sendiri sesuai dengan jenis masyarakat hukum dan hukum adat yang mengaturnya.

Menurut Hilman Hadikusumo, bahwa pada waktu itu desa dibentuk berdasarkan persekutuan hukum adat baik geneologis maupun teritorial, masing-masing desa itu telah mempunyai harta kekayaan desa, baik berupa tanah, bangunan, utang piutang dan lainnya.[5]

Selanjutnya dijelaskan oleh Hilman Hadikusuma sebagai berikut :

Harta kekayaan desa berupa tanah tersebut adalah tanah hak ulayat desa berupa tanah hutan, termasuk hutan larangan yang pengawasannya diserahkan kepada desa yang bersangkutan, seperti tanah hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan penggarapannya dan juga tanah desa atau Tanah Milik Desa seperti Tanah Perkuburan, tanah-tanah tempat ibadah, tanah tempat lembaga pendidikan, tanah balai desa, tanah lapangan desa dan tanah pasar desa.[6]

 

Di Propinsi Jambi seperti desa persekutuan hukum adat yang ada di Indonesia juga mengenal tanah hak ulayat yang disebut hak ulayat marga dan tanah desa, sebagaimana yang diungkap oleh A.P. Parlindungan sebagai berikut “Daerah Jambi seperti juga daerah-daerah lainnya di Indonesia mengenal apa yang disebut hak ulayat yang di daerah tersebut. dikenal dengan tanah hak ulayat penghulu (ulayat kampung), tanah hak batin (ulayat marga/batin) yaitu kumpulan kampung-kampung yang dikepalai seorang pasirah) dan tanah hak rajo”.[7]

Menurut Hilman Hadikusuma “Meskipun desa-desa persekutuan hukum adat memiliki harta kekayaan pada umumnya pemerintahan adat desa di masa lampau belum bekerja dengan sistem anggaran belanja dan administrasi yang teratur.[8]

Keadaan pemerintah desa yang belum teratur itu telah mendorong MPR RI melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang di tuangkan ke dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 sebagai berikut “Memperkuat Pemerintahan Desa, agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. Untuk itu perlu disusun undang-undang tentang Pemerintahan Desa.

Kelanjutan dari perintah Ketetapan MPR tersebut pada tanggal 1 Desember 1979 oleh Presiden disahkannya keberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa.

Berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 ini terjadilah perubahan pengertian desa dan persyaratan pembentukannya dan harta kekayaan yang dikuasainya.

Menurut Pasal 1 huruf .a. UU No. 5 Tahun 1979 sebagai berikut “Desa adalah suatu wilayah yang di tempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menentukan pula sebagai berikut “Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.”

Perubahan pengertian dan persyaratan pembentukan desa tersebut telah membawa konsekuensi yang mendasar, oleh karena desa yang semula merupakan suatu wilayah persekutuan hukum adat dipecah-pecah menjadi wilayah-wilayah tersendiri menjadi desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 dan Peraturan perundang-undangan lainnya, demikian pula dengan penguasaan harta kekayaan desa berdasar persekutuan hukum adat.

Menurut Idris Djaafar di Propinsi Jambi pemecahan dari desa persekutuan hukum adat (marga/mendapo) sebagai berikut:

Di Kabupaten Kerinci 15 buah mendapo menjadi 246 desa dan 6 Kelurahan, Kabupaten Sarolangun Bangko dari 27 marga menjadi 252 desa dan 12 Kelurahan, Kelurahan Bungo Tebo 14 marga menjadi 187 desa dan 12 Kelurahan, Kabupaten Batanghari 15 marga menjadi 197 desa dan 10 Kelurahan, Kabupaten Tanjung Jabung 5 marga menjadi 101 desa dan 8 Kelurahan dan Kotamadya Jambi 28 Kampung menjadi 2 desa dan 53 Kelurahan.[9]

 

 

Keadaan ini telah menimbulkan masalah bagi Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi, karena disatu sisi desa-desa diberikan hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, di sisi lain desa-desa tidak memiliki harta kekayaan desa yang dapat dijadikan sumber pendapatan desa.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi mengambil kebijaksanaan yang dikenal dengan Pengadaan Tanah Kas Desa.

Pemilihan kebijaksanaan pengadaan tanah kas desa ini Menurut Konsiderans Kep. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi berdasarkan pertimbangan:

  1. Bahwa desa-desa dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jambi pada umumnya belum memiliki sumber pendapatan dan kekayaan desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
  2. Bahwa kenyataan menunjukkan di desa-desa dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jambi cukup tersedia tanah yang dapat dijadikan lahan pertanian dan/atau perkebunan, sebagai sumber pendapatan dan kekayaan desa.
  3. Bahwa sebagai upaya untuk membantu pengadaan sumber pendapatan dan kekayaan desa dimaksud dipandang perlu memberi bantuan kepada desa-desa dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jambi untuk mengadakan Tanah Kas Desa yang digunakan sebagai sumber pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang bersangkutan.[10]

Realisasi dari kebijaksanaan pengadaan tanah kas desa tahun anggaran 1985/1986 pengadaaan tanah kas desa dilakukan dengan cara membuka atau membangun lahan pertanian atau perkebunan baru, akan tetapi banyak menimbulkan masalah terutama besarnya biaya yang akan dikeluarkan baik untuk pembukaan lahannya maupun pengolahan dan pemeliharaannya, dikhawatirkan tanah yang dibebaskan akan menjadi terlantar, sebab masyarakat desa belum mampu membiayai sendiri kelanjutan dari tanah kas desa tersebut.

Bertitik tolak dari kekhawatiran tersebut oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi mengambil kebijaksanaan agar dalam pengadaan Tanah Kas Desa tahun 1986/1987 dan selanjutnya, dilakukan dengan membeli sawah dan kebun yang sudah jadi.[11]

Sehubungan dengan pengadaan tanah kas desa baik melalui cara membuka lahan baru maupun pembelian sawah atau kebun yang sudah jadi, tentunya perlu dilakukan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah agar hubungan hak atas tanah dari penguasaan pemiliknya kepada penguasaan Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku baik pelepasan haknya maupun pendaftarannya, sementara dipihak lain sering terjadi dalam pembebasan tanah-tanah rakyat tidak dilakukan sebagaimana mestinya, baik cara-cara pembebasannya maupun, besar ganti rugi yang dibayarkan.

Mengingat kebijaksanaan yang digunakan Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi dalam pengadaan tanah kas desa dengan membeli sawah dan kebun yang sudah jadi dan hubungan tanah dengan masyarakat sebagai sumber penghasilan utamanya, diduga dalam pengadaan tanah kas desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari belum berjalan sebagaimana mestinya.

Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan suatu penelitian dengan judul Peranan Tanah Kas Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari.

 

1.2.Perumusan Masalah

  1. Apakah pengadaan tanah kas desa telah sesuai dengan
    Peraturan perundang-undangan yang berlaku ?
  2. Apakah pelaksanaan pendaftaran tanah kas desa telah
    sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku ?
  3. Bagaimanakah peranan tanah kas desa dalam penyelenggaran pemerintahan desa ?

 

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1.      Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui proses pengadaan tanah kas desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari.
  2. Untuk mengetahui pelaksanaan pendaftaran tanah kas desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari.
  3. Untuk mengetahui peranan tanah kas desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari.

1.3.2.      Faedah Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi faedah baik terhadap Ilmu pengetahuan maupun terhadap praktisi.

Untuk Ilmu pengetahuan (teori) hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa sumbangan pemikiran kepada Ilmu Pengetahuan hukum pada umumnya, kepada Ilmu Hukum Agraria pada khususnya.

Di samping itu hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya khasanah kepustakaan.

Adapun untuk praktisi hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi dan Pemerintah Daerah Tingkat II Batanghari dalam menentukan arah kebijaksanaan pengelolaan Tanah Kas Desa untuk sekarang dan masa mendatang dan untuk daerah lain di Indonesia dapat dijadikan rujukan dalam pengadaan Tanah Kas Desa untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintah desa di daerahnya.

1.4.Keaslian Penelitian

Menurut hemat peneliti, penelitian tentang Aspek Hukum Tanah Kas Desa dan Peranannya dalam Penyelenggaraan Pemerin­tahan Desa belum pernah diteliti oleh peneliti lain di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1.   Pengertian Tanah Kas Desa

Pengertian Tanah Kas Desa secara khusus tidak ditemukan dalam UU No . 5 Tahun 1979, kecuali hanya menentukan Tanah Kas Desa merupakan salah satu sumber pendapatan asli desa yang digunakan untuk penyelenggaraan rumah tangga lainnya.

Sehubungan dengan tidak dijelaskannya pengertian Tanah Kas Desa dalam UU No. 5 Tahun 1979 timbul pertanyan, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Tanah Kas Desa ?

Menurut Sekretariat Bina Desa, Tanah Kas Desa adalah tanah milik desa yang penguasaannya diserahkan kepada pennerintah desa, sesuai dengan Pasal 21 UU No. 5 Tahun 19798[12]. Adapun pengertian Tanah Kas Desa menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No. 79 Tahun 1987 sebagai berikut “Tanah Kas Desa adalah Tanah Milik Desa yang merupakan kekayaan desa dan diperuntukkan bagi sumber pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa”.

Pengertian di atas hampir sama dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1992 tentang Perubahan Status Tanah Bengkok dan sejenisnya menjadi Tanah Kas Desa sebagai berikut “Tanah Kas Desa adalah Tanah Milik Desa yang hasilnya menjadi sumber pendapatan desa”.

Demikian pula dengan Instruksi Gubernur Kepala Daerah\Tingkat I Jambi No. 4 Tahun 1997 tentang Pengadaan, Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa sebagai berikut “Tanah Kas Desa adalah suatu lahan yang dimiliki oleh Pemerintah Desa atau dikelola untuk kegiatan usaha desa sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan desa yang bersangkutan”.

Pengertian Tanah Kas Desa di atas hampir sama dengan yang dikemukakan R.M. Soedikno sebagaimana yang dikutip oJeh Merry Yono sebagai berikut dalam memberikan pengertian Tanah Bengkok sebagai berikut “Tanah Bengkok merupakan hak milik yang diberikan oleh pemerintah kepada desa untuk dipergunakan sebagai tanah jabatan”.[13]

Sedangkan Tanah Bengkok atau Hak keuntungan jabatan menurut Iman Sudiyat sebagaimana yang dikutip oleh Merry Yono sebagai berikut “Hak keuntungan jabatan ialah hak seorang pamong desa atas tanah jabatan yang ditunjuk untuknya dan yang berarti bahwa ia boleh menikmati hasil dari tanah itu selama ia memegang jabatan”.[14]

Selanjutnya dikemukakan oleh Merry Yono sebagai berikut “Tanah Bengkok adalah tanah desa yang diberikan kepada pejabat-pejabat desa sebagai imbalan atas tugas-tugas dan tanggung jawabnya sebagai pamong desa.[15]

Sebenarnya pengertian Tanah Kas Desa yang dikemukakan. sebelumnya kurang tepat, oleh karena semenjak berlakunya UU No. 5 Tahun 1960, desa yang merupakan bagian integral dari Negara Republik Indonesia tidak mengenal lagi istilah hak milik sebagai konsekuensi dihapuskannya asas domein negara. Dihapusnya asas domein negara dalam hukum agraria, maka dalam UU No. 5 Tahun 1960 tidak dikenal lagi negara sebagai pemilik, melainkan dikenal Hak Menguasai dari Negara.

Bertitik tolak dari uraian di atas menurut peneliti pengertian Tanah Kas Desa lebih tepat pengertiannya sebagai berikut “Tanah Kas Desa adalah tanah-tanah yang dikuasai desa baik yang berasal dari pemerintah tingkat atasnya maupun yang diperoleh melalui swadaya masyarakat desa untuk dikelola yang hasilnya merupakan sumber pendapatan asli desa dan dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa”.

Kemudian apabila dilihat dari fungsinya Tanah Kas Desa berbeda dengan Tanah Bengkok. Tanah Kas Desa berfungsi sebagai sumber pendapatan desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, sedangkan Tanah Bengkok atau hak keuntungan jabatan berfungsi sebagai tanah jabatan yang hasilnya diperuntukkan bagi Kepada Desa dan perangkat desanya.

Akan tetapi semenjak Tahun 1992 melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1992 tentang Perubahan Status Tanah Bengkok dan sejenis menjadi Tanah, Kas Desa, tanah bengkok diubah status menjadi tanah kas desa, dengan demikian pengelolaan harus melalui Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD).

Disamping itu perlu diketahui, bahwa Tanah Bengkok tersebut menurut Pasal VI Ketentuan Konversi UUPA ditentukan sebagai berikut:

“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat 1 yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.

 

Dari ketentuan konversi di atas jelaslah bahwa Tanah Bengkok dikonversi menjadi Hak Pakai. Tentunya hak pakai khusus artinya hak pakai yang hanya ada right to use dan tidak ada right of disposalnya, demikian pula dengan Tanah Kas Desa sebagaimana yang dikemukakan oleh A.P. Parlindungan sebagai berikut:

“Tanah Kas Desa dan tanah-tanah yang sejenis yang merupakan tanah bengkok dan tanah kas desa diberikan Hak Pakai publikrechtelijk, yaitu hanya ada right to use tetapi tidak ada right of disposal yaitu tidak boleh dijual atau dijadikan agunan hutang.[16]

 

Semenjak tahun 1982 dengan keluarnya PMDN No. 1 Tahun 1982 Tanah Bengkok tersebut telah diubah fungsinya dari tanah yang hasilnya diperuntukkan kepada Kepala Desa dan perangkatnya menjadi sumber pendapatan desa, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 11 ayat (1) PMDN No. 1 Tahun 1982 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa, Pengurusan dan pengawasannya sebagai berikut “Sumber-sumber pendapatan desa berupa Tanah Bengkok dan sejenis yang selama ini merupakan sumber penghasilan bagi Kepala Desa dan perangkat desanya, ditetapkan menjadi sumber pendapatan desa yang pengurusannya ditetapkan melalui Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa.

 

2.2.   Tanah Kas Desa Salah Satu Sumber Pendapatan Asli Desa

Konsekuensi bagi desa yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya, baik perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaan ditentukan sendiri oleh desa yang bersangkutan, sedangkan pemerintah yang ada di atasnya hanya melakukan pembinaan dan pengawasan saja.

Untuk desa yang diberikan hak menyelenggarakan rumah tangganya oleh pembentuk UU No. 5 Tahun 1979 telah menentukan sumber pendapatan desa, sebagaimana yang ditentukan Pasal 121 ayat 1 huruf a, sumber pendapatan asli desa terdiri dari, hasil tanah-tanah kas desa, hasil dari swadaya dan partisipasi masyarakat desa, hasil gotong royong masyarakat dan lain-lain hasil dari usaha desa yang sah.

Apabila diperhatikan urutan dari sumber pendapatan asli desa tersebut terlihat dengan jelas Tanah Kas Desa ditempatkan pada urutan pertama. Penempatan ini berkaitan erat dengan desa sebagai unit pemerintah terendah yang diberikan hak menyelenggarakan pemerintahan desa baik masa kini maupun masa mendatang akan sangat tergantung dari hasil tanah-tanah kas desa.

Persoalan yang dihadapi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa khusus tanah yang akan dijadikan sumber pendapatan asli desa, terutama desa-desa di luar Pulau Jawa dan Madura belum tersedianya tanah yang dapat dijadikan sebagai tanah kas desa, Keadaan ini disebabkan pembentukan desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 tidak didasarkan kepada Persekutuan Hukum Adat yang telah ada sebelumnya, melainkan menitikberatkan kepada luas wilayah, jumlah penduduk dan sebagainya.

Oleh karena tidak tersedianya tanah-tanah yang akan diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk dijadikan tanah kas desa, terutama tanah-tanah produktif, maka oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi mengeluarkan Kebijaksanaan Pengadaan Tanah Kas Desa.

Untuk merealisir kebijaksanaan tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi melakukan pembebasan tanah/pelepasan hak atas tanah yang dihaki secara adat dikuasai oleh masyarakat, terutama tanah-tanah masyarakat yang akan dijadikan Tanah Kas Desa, baik yang berbentuk lahan baru maupun lahan yang sudah produktif, seperti sawah dan perkebunan.

 

2.3.   Tujuan Pengadaan Tanah Kas Desa

Menurut Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1979 salah satu sumber pendapatan desa adalah Tanah Kas Desa. Untuk daerah luar Jawa dan Madura akan menemukan kesulitan di dalam mengadakan tanah kas desa, karena belum dikenal sebelumnya, berbeda halnya desa-desa yang ada di Pulau Jawa dan Madura telah dikenal Tanah bengkok yang hasilnya digunakan oleh Kepala Desanya.

Untuk mewujudkan Tanah Kas Desa di Propinsi Daerah Tingkat I Jambi umumnya, Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari khususnya, Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi telah menetapkan kebijaksanaan pengadaan Tanah Kas Desa, sebagaimana yang dituangkan dalam Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No. 6 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pengadaan Tanah Kas Desa di Propinsi Daerah Tingkat I Jambi.

Menurut Pasal 2 Instruksi Gubernur bantuan pengadaan Tanah Kas Desa bertujuan antara lain :

  1. Memberikan sumber pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa;
  2. Mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa;
  3. Memberi dan meningkatkan hasil tetap bagi aparatur pemerintahan desa guna meningkatkan prestasi kerja dalam rangka mewujudkan suatu pemerintahan desa yang berdayaguna dan berhasilguna;
  4. Merupakan contoh bagi masyarakat bagaimana caranya mengadakan dan mengolah lajian pertanian, perkebunan yang baik sesuai dengan teknik tepat guna di bidang pertanian, perkebunan.

Lebih lanjut dijelaskan adapun tujuan pengadaan Tanah Kas Desa adalah sebagai berikut :

  1. Tanah Kas Desa dapat memberikan sumber pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Hal ini menunjukkan, bahwa dengan adanya Tanah Kas Desa yang mempunyai hasil yang cukup baik, maka diharapkan dari hasil Tanah Kas Desa tersebut dapat dipergunakan untuk membiayai segala urusan Pemerintahan Desa, terutama pembiayaan urusan administrasi pemerintah desa tersebut akan dapat memberikan ketertiban dan keberhasilan dalam pemerintahan desa, dan momberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Disamping itu dari hasil Tanah Kas Desa diharapkan dapat membiayai pembangunan desa.
  2. Mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa, karena dengan adanya Tanah Kas Desa diharapkan kepada masyarakat desa untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam usaha melaksanakan pembangunan yang ada di desanya. Gotong royong tersebut dapat berupa kerja sama dalam mengerjakan Tanah Kas Desa, maupun bergotong royong untuk pembangunan desanya.
  3. Adanya penghasilan yang cukup bagi aparat Pemerintahan Desa tersebut diharapkan akan meningkat prestasi kerja dalam rangka mewujudkan suatu Pemerintahan Desa yang berdayaguna dan berhasilguna.
  4. Selain tujuan di atas adanya Tariah Kas Desa diharapkan anggota masyarakat desa dapat mengambil contoh tentang cara-cara yang baik dalam pengolahan lahan pertanian atau perkebunan, karena untuk Tanah Kas Desa selain dipimpin oleh, Kepala Desa yang dibantu oleh Petugas Teknis Lapangan yang terdiri dari Mantri Pertanian/Perkebunan Kecamatan dan atau Petugas Penyuluh Lapangan (PPL).

Dengan adanya bimbingan dari Petugas Teknis Lapangan tersebut, masyarakat akan dapat mengambil pengetahuan di bidang pertanian dan perkebunan tentang pengolahan lahan pertanian atau perkebunan yang baik dan pada akhirnya akan diterapkan oleh anggota masyarakat untuk lahan pertanian atau perkebunannya yang pada gilirannya dapat pula meningkatkan penghasilannya.

 

2.4.   Pembebasan Tanah/Pelepasan Hak

Pembebasan tanah/pelepasan hak ini diatur dalam PMDN No. 1.5 Tahun 1975 tentang tata cara pembebasan tanah. Peraturan ini sekaligus sebagai pengganti Bijblad No. 11372 jo 12476 yang dianggap sudah tidak memadai lagi sehingga perlu penyesuaian.

Menurut Pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15 Tahun 1975 sebagai berikut “Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberi ganti rugi”.

Menurut John Salindeho sebagai berikut :

“pengertian pembebasan tanah secara tersirat mengandung arti pembebasan hak atas tanah dengan segala hak lain yang ada di atasnya atau terhubung dengannya, seba.b kalau pembebasan tanah saja ini berarti pembebasan atas suatu okupasi tanah negara secara legal atau resmi diokupsi seseorang/badan hukum, jika dibutuhkan oleh pemerintah dengan sendirinya memerlukan upaya-upaya pembebasan tanah (bukan hak atas tanah) dari okupasinya yang dengan sendirinya perlu diberi juga uang ganti rugi, namun tidak sebesar jika membebaskan hak atas tanahnya.

Bertitik tolak dari pengertian di atas kemudian John Salindeho mengemukakan definisi pembebasan (hak) tanah sebayaa. ber’Mut “Suatu perbuatan hukum yang bertujuan melepaskan hubungan hukum antara pemilik atau pemegang hak dengan tanah, dengan pembayaran harga atau uang ganti rugi.”.[17]

Kemudian kalau dperhatikan Surat Dirjen Agraria No. Ba/5//281/5 tanggal 26 Mei 1969 sebelum keluarnya PMDN Nc. 15 Tahun 1975 telah membedakan istilah pembebasan tanah dengan pelepasan hak. Menurut Surat Dirjen diatas, apabila ditinjau dari sudut pihak yang memerlukan tanahnya, acara itu dinamakan membebaskan hak, sedangkan dilihat dari sudut punya tanah dinamakan melepaskan hak.

Perbedaan yang digunakan oleh Surat Dirjen Agraria tersebut diikuti pula oleh Abdurrahman sebagai berikut :

Kalau kita melihat masalah ini dari sudut yaitu dari pihak penguasa maka pengambilan tanah seseorang adalah sebagai pembebasan hak tanah dimana pemerintah membebaskan tanah yang bersangkutan dari hak dan kekuasaan sipemegang haknya sehingga tanah yang diinginkan benar-benar bebas dari kekuasaannya. Sedangkan dilihat dari sudut sipemegang hak maka perbuatannya adalah berupa pelepasan hak atas tanah, yaitu sipemegang hak secara sukarela melepaskan hak atas tanahnya setelah ia mendapat ganti rugi yang layak atas tanah tersebut.[18]

 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembebasan (hak) tanah disebut pihak yang memerlukan tanah, sedangkan pihak yang punya tanah disebut pihak yang melepaskan hak atas tanah.

Kemudian semenjak tanggal 17 Juni 1993 dengan ditetapkannya Kappres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, maka istilah pembebasan tanah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Menurut Pasal 1 angka (2) Keppres No. 55 Tahun 1993 yang dimaksud dengan Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan imbalan ganti rugi atas dasar musyawarah.

Memperhatikan isi pasal di atas adanya penekanan. Prinsip musyawarah, penekanan prinsip ini diduga dilatarbelakangi bahwa prinsip musyawarah kurang mendapat perhatian di dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 termasuk pelaksanaannya oleh Panitia Pembebasan Tanah.

Hal ini terungkap sebagaimana yang dikemukakan oleh A.P. Parlindungan sebagai berikut :

Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 disebutkan harus musyawarah, dan kenyataan musyawarah itu menjadi briefing, pengarahan, instruksi maupun pernyataan sepihak dari pihak yang akan membebaskan tanah tersebut, yang dilakukan oleh Camat dan Kepala Desa setempat tetapi dalam Pasal 1 Keppres 55 tersebut telah dirumuskan musyawarah itu adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima antara pihak-pihak, dan untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian”.[19]

 

 

Di samping penekanan prinsip musyawarah itu oleh Pasal 3 Keppres No. 55 Tahun 1993 ditentukan pula sebagai berikut “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah”.

Adanya prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah suatu pertanda pemerintah bersungguh-sungguh menentukan politik hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dan Pemerintah tidak hanya melihat arti pentingnya pembangunan itu dari sisi pemerintah saja, dan inilah yang membedakan secara prinsipil antara pembebasan tanah dengan pelepasan hak.

Perbedaan lain antara pembebasan tanah dengan pelepasan hak dalam hal masalah ganti rugi sebagaimana yang dikemukakan oleh A.P. Parlindungan sebagai berikut :

Jika tidak terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian, maka pada instansi pertama dapat naik banding kepada Gubernur Kepala Daerah dan seterusnya jika juga tidak terdapat kesepakatan dapat penitia pengadaan tanah mengajukan kepada Presiden untuk tanah tersebut dicabut haknya dan karena mempergunakan UU No. 20 tahun 1961 maka naik banding lagi ke Pengadilan Tinggi untuk dipertimbangkan mengenai harga ganti kerugiannya.[20]

 

Sedangkan dalam acara pembebasan tanah sebagaimana yang diatur dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 tidak mengatur kelanjutannya, apabila sudah banding kepada Gubernur Kepala daerah.

Tidak adanya kelanjutan ini terkesan pembebasan tanah yang diatur dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 hampir sama dengan pencabutan hak atas tanah, sebagaimana yang dikemukakan oleh A.P. Parlindungan sebagai berikut :

Pembebasan tanah seperti yang diatur oleh PMDN No. 15 Tahun 1975, adalah suatu pseudo pencabutan hak, karena adanya tindakan sepihak dari pemerintah untuk membebaskan tanah tersebut, mau tidak mau harus terlaksana dan kadangkala agar bersedia melepaskan tanahnya tersebut.[21]

 

Dari uraian tersebut jelaslah adanya perbedaan yang prinsipil antara pembebasan tanah dengan pelepasan hak, di antaranya:

  1. Dalam pembebasan tanah, meskipun adanya prinsip musyawarah akan tetapi kurang diperhatikan dalam pelaksanaannya, sedangkan pelepasan hak dalam pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum prinsip musyawarah dan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah mendapat perhatian utama.
  2. Dalam pembebasan tanah hanya sampai banding kepada Gubernur Kepala Daerah saja dan tidak berkelanjutan, sedangkan dalam pelepasan hak, apabila tidak terdapat kesepakatan setelah banding kepada Gubernur Kepala Daerah dilanjutkan oleh Panitia pengadaan tanah dengan mengusulkan kepada Presiden dilakukan pencabutan hak, sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961.

Sekarang timbul pertanyaan apakah pembebasan/pelepasan hak ada atau tidak kaitannya dengan UUPA ?

Menurut penjelasan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dijelaskan sebagai berikut “Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah haruslah berdasarkan atau bersumberkan kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti UU No. 20 Tahun 1961 dibentuk berdasarkan atau bersumber dari Pasal 18 UUPA. (UU No. 5 Tahun 1960)

Apabila penjelasan tersebut dihubungkan dengan PMDN No. 15 Tahun 1975 jelas tidak bersumber kepada UU No. 5 Tahun 1960. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa PMDN No. 15 Tahuri 1975 ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk menggantikan Bijblad No. 11372 jo 12476 yang sebenarnya Bijblad tersebut merupakan pelaksanaan dari azas domein yang sudah dihapuskan oleh UUPA.

Apalagi pembebasan tanah selalu dihubungkan dengan masalah ganti rugi yang hampir sama dengan Pencabutan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961.

Berbeda hal kalau pembebasan tanah tersebut dilakukan secara adat, sebagaimana yang dikemukakan A.P. Parlindungan sebagai berikut :

Kebiasaan rakyat di pedesaan untuk musyawarah/mufakat bulat dalam memecahkan masalah apalagi yang menyangkut hukum adat akan dapat melapangkan jalan dalam penyediaan lahan di pedesaan, seperti di Bali dan Sumbar, pada umumnya pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pembebasan tanah tersebut dan sebagai imbalan rakyat mendapatkan rekognisi (pago-pago menurut istilah di daerah Sumatera Utara) yang berupa prasarana, sarana, rumah ibadah dan lain-lain yang membawa penaikan kehidupan lebih baik bagi rakyatnya”.[22]

 

Apabila prinsip musyawarah/mufakat ini suatu pendekatan yang digunakan oleh Panitia pembebasan tanah jelas dapat meredam gejolak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi dalam praktek pembebasan tanah yang dikena1 selama ini hanya melihat pembangunan itu dari sisi pemerintah ditambah lagi dalam pembebasan tanah tersebut kurang memenuhi rasa keadilan rakyat.

Sedangkan Pelepasan hak sebagaimana yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 jelas ada kaitannya dengan UUPA, sebagaimana yang dikemukakan oleh A.P. Parlindungan sebagai berikut :

Bagi penulis tidak sependapat dengan berbagai tulisan dalam media massa yang seolah-olah Keppras ini kurang jelas, karena pada situasi sekarang sudah memadai dengan telah ditetapkan kembali dalam jalur hukum yang besar, yaitu kaitannya kepada UU No. 20 Tahun 1961, termasuk UUPA serta telah memenuhi prinsip-prinsip umum dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.”[23]

 

Demikian pula dengan Djenal Hoesen Koesoemahatmadja sebagai berikut :

Selain karena pencabutan hak-hak tersebut di atas, maka hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan akan menjadi hapus pula, karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya (lihat Pasal 27 sub a. 2) atau dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir (Pasal 34 sub c dan Pasal 40 sub c) hapusnya hak-hak seperti demikian disebut Pelepasan Hak.”[24]

 

Memperhatikan uraian tersebut jelaslah bahwa pembebasan tanah yang diatur dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 sebagai pongganti Bijblad No. 11372 jo 12476 tidak berkaitan dengan UUP/1, sedangkan Pelepasan hak sebagaimana yang diatur dalam Ksppres No. 35 Tahun 1993 berkaitan dengan UUPA.

Menurut PMDN No. 15 Tahun 1975 untuk pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan oleh sebuah panitia yang beranggotakan sebagai berikut:

  1. Kepala sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai ketua merangkap anggota.
  2. Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepada Daerah yang bersangkutan sebagai anggota.
  3. Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.
  4. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota.
  5. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota.
  6. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota.
  7. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota.
  8. Seorang pejabat dari Kantor sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kota-madya yang bersangkutan sebagai sekretariat bukan anggota.

Dengan keluarnya Keppres No. 55 Tahun 1993 Panitia pembebasan diganti dengan Panitia Pengadaan tanah dengan susunan sebagai berikut;

  1. Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua merangkap anggota.
  2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap anggota.
  3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai anggota.
  4. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang bangunan sebagai anggota.
  5. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian, sebagai anggota.
  6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota.
  7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan ber­langsung, sebagai anggota.
  8. Asisten Sekretariat Wilayah bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian Pemerintah pada Kantor Bupati/Walikotamadya sebagai sekretaris I bukan anggota.
  9. Kepala seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai sekretarias II bukan anggota.

Adapun tugas Panitia pembebasan tanah sebagai berikut:

  1. Mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanaman tumbuh dan bangunan-bangunan.
  2. Mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan/tanaman.
  3. Menaksir besarnya ganti rugi yang akan dibayar kepada yang berhak.
  4. Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangannya.
  5. Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman tersebut.

Kemudian tugas panitia pembebasan yang sudah diganti dengan Panitia pengadaan tanah disempurnakan sebagai berikut:

  1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
  2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
  3. Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
  4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
  5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian.
  6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah.
  7. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Perlu diketahui dalam pembebasan tanah tersebut, sebenarnya Panitia Pembebasan Tanah dalam melaksanakan tugas berusaha dalam menentukan besarnya ganti rugi terdapat kata sepakat diantara para anggota panitia dengan memperhatikan kehendak dan musyawarah dipergunakan dalam pembebasan tanah, oleh karena pihak pemegang hak atas tanah. Prinsip yang digunakan prinsip musyawarah, maka pemegang hak atas tanah dapat menerima atau menolak jumlah harga ganti rugi yang ditawarkan oleh Panitia. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka masalahnya diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah sebagai lembaga banding. Pada lembaga banding Gubernur Kepala Daerah setelah mempertimbangkan dari segala segi, kemudian menetapkan keputusan yang bersifat pengukuhan putusan Panitia Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Berbeda halnya pelepasan hak yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 prinsip musyawarah lebih ditekan. Penekanan prinsip musyawarah terbukti dengan diaturnya dalam bagian tersendiri dengan tiga pasal sebagaimana terlihat berikut :

  1. Pasal 9 Keppres No. 55 Tahun 1993

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah.

  1. Pasal 10 Keppres No. 55 Tahun 1993

1)      Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah

2)      Dalam hal jumlah pemegang hak atas tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan Panita pengadaan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.

3)      Musyawarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Ketua pengadaan tanah.

  1. Pasal 11 Keppres No. 55 Tahun 1993

Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.

 

Kemudian apabila dalam musyawarah yang dilakukan berulang kali tidak terdapat kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka Panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Jika pemegang hak atas tanah keberatan menerima keputusan Panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan Panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan yang bentuk dan besarnya ganti kerugian yang akan diberikan.

Apabila upaya penyelesaian Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Kemudian, apabila terdapat kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan panitia tentang besarnya atau bentuk ganti kerugiannya, seterusnya dilakukan pembayaran ganti kerugian sejumlah yang disepakati bersama. Bersamaan dengan itu dilakukan pula penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya empat orang anggota panitia pembebasan tanah, di antaranya Camat dan Kepala Desa.

Pelepasan hak ini di dalam Pasal 30 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 disederhanakan sebagai berikut:

1)       Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian dibuat surat pernyataan pelepasan hak atau penyerahan tanah yang ditandatangani oleh pemegang hak atas tanah dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya serta disaksikan oleh sekurang-kurannya 2 (dua) orang anggota panita.

2)       Apabila yang dilepaskan atau diserahkan adalah tanah hak milik yang belum bersertifikat, penyerahan tersebut harus disaksikan oleh Camat dan Lurah/Kepala Desa setempat.

 

Adapun tanah-tanah yang dibebaskan yang memperoleh ganti kerugian adalah tanah-tanah yang berupa:

  1. Tanah-tanah yang telah mempunyai suatu hak berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960
  2. Tanah-tanah dari masyarakat hukum adat.

Kemudian dalam pembebasan tanah besarnya ganti rugi-harus diperhatikan tentang:

  1. Lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat.
  2. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas lain.
  3. Yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepada hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Agraria dan Kebijaksanaan pemerintah.

Sedangkan ganti kerugian dalam pelepasan hak yang di atur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 ditetapkan atas dasar:

  1. Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.
  2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang bangunan.
  3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Abdurrahman sebagai berikut :

Sebagai bukti telah dilakukan pembayaran ganti rugi oleh instansi yang bersangkutan dan telah diterimanya uang ganti rugi oleh pihak yang berhak serta dilakukan pelepasan hak maka oleh Panitia Pembebasan Tanah harus dibuat berita acara pelepasan hak dan pembayaran ganti rugi sekurang-kurangnya rangkap delapan.”[25]

 

Kegiatan yang diatur PMDN No. 15 Tahun 1975 sedikit berbeda dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 yang mengatur masalah pelepasan atau penyerahan dan permohonan hak atas tanah, bahwa setelah pembayaran ganti kerugian dilanjutkan dengan pembuatan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah dan seterusnya penyerahan sertifikat atau surat-surat tanah kepada Panitia pengadaan tanah dan terakhir mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah sampai memperoleh sertifikat.

Sekarang timbul pertanyaan apakah pelepasan hak itu perlu dilakukan dihadapan PPAT ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa pendapat sarjana di bawah ini:

Menurut Abdurrahnan sebagai berikut :

“Dengan adanya pernyataan pelepasan hak maka orang yang bersangkutan atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya menjadi hapus dan pada saat tersebut tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara”. Menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri/Dirjen Agraria yang kita sebut di atas dengan dibuatnya pernyataan pelepasan hak dimuka Panitia pembebasan tanah yang juga diperkuat dengan pembuatan Berita acara tersebut di atas maka tidak diperlukan adanya akte pelepasan hak tersendiri dan oleh karena itu juga tidak diperlukan adanya biaya untuk pembuatan akte pelepasan hak atas tersebut.[26]

 

Menurut soetomo sebagai berikut

 

  1. Pelaksanaan pelepasan hak untuk kepentingan pemerintah dilakukan sekaligus dihadapan Panitia pembebasan tanah Kabupaten/ Kotamadya yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam S.E. Dirjen Agraria No. Ba. 12/108/12/75 tanggal 3-12-1975 dengan tidak memerlukan lagi pembuatan akte pelepasan hak secara khusus dihadapan Kepala sub Direktorat Agraria Kabupaten/Rotamadya, Camat (Kepala Kecamatan) ataupun Notaris setempat.
  2. Pelepasan hak untuk kepentingan swasta harus dilakukan dengan pembuatan akte pelepasan yang dibuat dihadapan Kepala sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya, Camat (Kepala Kecamatan) atau Notaris setemapat.”[27]

 

Demikian pula dengan A.P. Parlindungan tidak memasukkan peralihan hak, karena pelepasan hak dibuat aktenya dihadapan PPAT, sebagaimana yang dikemukakan sebagai berikut:

“Peralihan apa saja yang dilakukan dihadapan PPAT

  1. Jual beli
  2. Hibah
  3. Tukar menukar
  4. Pembagian harta warisan
  5. Pemisahan dan pembagian
  6. Perjanjian-perjanjian untuk mendirikan hak guna bangunan atas tanah milik orang lain
  7. Perjanjian-perjanjian untuk mendirikan hak pakai atas tanah milik orang lain
  8. Hipotik/kreditverband (kini hak tanggunqan) pemasukan dalam Perseroan Terbatas”[28]

 

Dari ketiga pandangan itu terlihat dengan jelas, bahwa pelepasan hak tidak memerlukan lagi pembuatan akte pelepasan hak, jika yang melakukannya adalah instansi pemerintah, sebab dengan pelepasan hak tersebut penguasaan atas tanah kembali kepada negara dan apabila tanah yang dilepaskan digunakan oleh instansi pemerintah untuk melaksanakan tugasnya, maka status hak atas tanah berubah menjadi hak pakai khusus, sedangkan apabila pelepasan hak atas tanah tersebut dilakukan oleh pihak swasta, maka diperlukan pembuatan akte pelepasan haknya, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 sebagai berikut: “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Penjabat) Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.”

Terakhir setelah pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi selesai dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada pejabat yang berwenang seperti yang dimaksud PMDN No. 6 Tahun 1972.

Permohonan tersebut harus disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak dan pembayaran ganti ruginya dan Kepala sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya (sekarang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya) harus menyelesaikan permohonan tersebut menurut ketentuan dalam PMDN No. 5 Tahun 1973.

Perkembangan selanjutnya dari pembebasan tanah ini pada tahun 1985 dikeluarkan PMDN No. 2 Tahun 1985 sebagai pelengkap PMDN No. 35 Tahun 1975 yang mengatur tentang Pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah yang luasnya kurang dari 5 Ha cukup dilakukan oleh Pimpinan Proyek dan diketahui oleh Camat.

Sebagaimana yang ditentukan Pasal 2 PMDN No. 2 Tahun 1985 sebagai berikut :

1)      Pengadaan tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah dilaksanakan oleh Pimpinan Proyek Instansi yang bersangkutan;

2)      Pengadaan tanah yang dimaksud dalam ayat (1) luasnya tidak lebih dari 5 (lima) Ha;

3)      Dalam melaksanakan pengadaan tanah dimaksud dalam ayat (1) Pemimpin Proyek memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan luas tanah yang diperlukan;

4)      Apabila dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan dari Instansi/Dinas teknik yang bersangkutan sesuai dengan jenjang hierarki.

Kemudian ditentukan pula dalam Pasal 11 PMDN No.2 Tahun 1985 sebagai berikut :

Pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan yang pada saat mulai berlakunya peraturan ini masih dalam proses penyelesaian menurut ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, diadakan ketentuan sebagai berikut :

  1. Apabila telah dicapai musyawarah dengan para pemilik/yang berhak atas tanah, tetap diperlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975.
  2. Apabila belum dicapai musyawarah dengan para pemilik/yang berhak atas tanah, diperlukan menurut ketentuan peraturan ini.

 

Selanjutnya PMDN No. 2 Tahun 1985 diJaksanakan dengan S.E. No. 590/4236/AGR Tanggal 2 Agustus 1985. Menurut Surat Edaran tersebut dalam pengadaan tanah, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

  1. Lokasi proyek harus sesuai dengan rencana penggunaantanah/rencana pembangunan Pemerintahan Daerah setempat
  2. Harga tanah harus memadai, dalam arti yang paling menguntungkan bagi negara, dan harga tanah tersebut harus serasi dengan proyek pembangunan di daerah yang bersangkutan
  3. Sedapat mungkin dihindarkan penggunaan tanah pertanian yang subur
  4. Mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.

Seterusnya dijelaskan pula di dalam melaksanakan penga­daan tanah Pemimpin Proyek diwajibkan memberitahukan kepada Kepala Kecamatan yang bersangkutan mengenai lokasi, letak dan luas tanah yang diperlukan.

Kepala Kecamatan setelah menerima pemberitahuan itu 1 segera mengadakan penelitian mengenai :

  1. Lokasi, peruntukan dan penggunaan tanahnya apakah sudah sesuai dengan rencana penggunaan tanah/rancangan pembangunan Pemerintahan Daerah setempat;
  2. Tanah, letak, luas, status tanah dan status kepemilikan serta benda-benda yang ada di atasnya.

Hasil penelitian tersebut disampaikan kepada Pemimpin Proyek yang disertai dengan pertimbangannya.

Perlu diketahui Camat dalam melakukan penelitian dapat mengadakan konsultasi dengan instansi teknik yang bersangkutan, dalam hal mengenai status tanah dengan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya (sekarang Kantor Pertanahan) dan mengenai letak tanah Dinas Pekerjaan Umum/Tata Kota setempat.

Apabila status dan letak tanah telah memenuhi persyaratan, maka Pemimpin Proyek bersama dengan Kepala Kecamatan setempat wajib mengadakan musyawarah dengan para pemilik atau yang berhak atau tanah dan atau benda-benda yang ada di atasnya.

Terakhir, jika telah disepakati bersama dan bentuk ganti ruginya antara pihak-pihak yang bersangkutan segera dilakukan pembayaran ganti ruginya oleh Pemimpin Proyek dan bersamaan dengan itu dilakukan penyerahan/pelepasan hak atas tanah yang disaksikan oleh Camat/Walikota. Sebaliknya dalam musyawarah tidak tercapai kata sepakat, maka Pimpinan Proyek segera mencari lokasi lain sebagai penggantinya.

Memperhatikan uraian di atas tidak terlihat keterlibatan Kepala Desa/Kelurahan sebagai Panitia Pengadaan Tanah, meskipun lokasi yang akan dijadikan proyek pem­bangunan di desanya. Susunan panitia pengadaan tanah seperti itu sangat disayang oleh Abdurrahman sebagaimana yang dikemukakannya sebagai berikut :

Mekanisme ini kelihatannya dimaksudkan untuk menggantikan fungsi Panitia Pembebasan Tanah seperti yang dikenal dalam Pembebasan Tanah bagi tanah-tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 Ha, akan tetapi sayangnya di sini peranan dari Kepala Desa/Lurah sama sekali tidak tampak, sedangkan bagi daerah tertentu terutama sekali untuk daerah pedesaan/pedalaman peranannya masih penting sekali dan untuk pemebebasan tanah Kepada Desa atau Lurah adalah juga merupakan anggota dari Panitia Pembebasan Tanah.[29]

 

Sehubungan dengan PMDN No. 2 Tahun 1985 menurut A. P. Parlindungan sebagai berikut :

 

Peraturan ini (maksudnya PMDN No. 2 Tahun 1985) disusul dengan Surat Edaran dari Direktur Jendral Agraria tanggal 3 Agustus 1985 antara lain menyebutkan bahwa pada penyelesaian pembebasan tanah tersebut dapat dibebani kewajiban, antara lain biaya administrasi, pembuatan akte jual beli/pelepasan hak oleh Camat, biaya pembelian/ganti rugi termasuk bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya, biaya penyelesaian sertifikat tanah, biaya pengosongan, biaya pengiringan, biaya pemerataan, biaya pematangan dan lain pengeluaran”.[30]

 

Kedua PMDN ini, di samping keberhasilannya memenuhi kebutuhan tanah dalam usaha pembangunan baik yang dilakukan instansi pemerintah maupun pihak swasta, tidak sedikit pula mendapat kritik dari kalangan praktisi maupun akademis yang berkaitan dengan aspek hukumnya dan aspek pelaksanaannya.

Kritik dari aspek hukumnya terlihat dari pendapat atau pandangan yang dikemukakan pada seminar tentang segi-segi hukum pembinaan kota dan daerah di Fakultas Hukum Universitas Patimura Ambon sebagai berikut:

  1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 baik ditinjau dari segi formalnya (yang tidak memenuhi persyaratan juridis) maupun ditinjau dari segi materialnya (yaitu berupa perlindungan kepada anggota masyarakat yang akan dicabut haknya) adalah batal menurut hukum.
  2. Apabila Peraturan Menteri Dalam Negeri itu diuji kepada doktrin (bahwa ada pembatasan wewenang dari badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materil) dengan anggapan bahwa pembebasan tanah adalah sama dengan pencabutan hak, maka Peraturan Menteri termaksud adalah batal karena:

b.1.Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai wewenang membuat peraturan yang mengikat umum, tanpa adanya pendelegasian wewenang.

b.2.Mengenai pencabutan hak, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 telah menunjuk Presiden sebagai instansi yang berwenang memutus.

b.3.Peraturan Menteri Dalam Negeri mengatur suatu seal yang telah diatur oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 dan isi Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut bertentangan dengan isi undang-undang termaksud.”[31]

 

Demikian pula kritik A.P. Parlindungan terhadap PMDN No. 2 Tahun 1985 sebagai berikut :

Bagi penulis PMDN No. 2/1985 ini adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, bahwa hanya dengan-suatu undang-undang saja dapat dilakukan pembebasan tanah tersebut. Di samping itu dikhawatirkan akan terjadi manipulasi dan korupsi cukup diputus oleh Pimpro dan Camat setempat oleh karena begitu mudahnya untuk membebaskan satu bidang tanah.[32]

 

Adapun kritik dari Abdurrahman adalah sebagai berikut:

Persoalan tentang pembebasan tanah ini tidak kita jumpai suatu pengaturan yang tegas mengenai pembebasan tanah ini. Undang-undang Pokok Agraria (UU No.5/1960) secara tegas menyatakan untuk meninggalkan asas domein dari sistem perundang-undangan agraria kolonial dan menggantikannya dengan konsepsi hak menguasai dari negara. Masalah pembebasan tanah ini dalam sistem perundang-undangan agraria nasional tidak diatur dengan suatu ketentuan undang-undang atau Peraturan Pemerintah sebagaimana halnya dengan masalah pencabutan hak untuk kepentingan umum, akan tetapi hanya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri, Surat-surat Edaran Direktorat Jendral Agraria dan Peraturan-peraturan daerah setempat.[33]

 

Demikian pula dalam pelaksanaannya banyak pula terjadi penyimpangan-penyimpangan dengan alasan pembangunan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdurrahman berikut ini:

Persoalan tentang pembebasan tanah terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan merupakan masalah yang banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak. Hal ini adalah terutama disebabkan karena banyaknya ketidakberesan dalam pelaksanaan pembebasan tanah dengan cara semuanya atau tanpa ganti rugi yang layak dengan dalih untuk kepentingan pembangunan, sehingga disaat sekarang pembangunan banyak dikambinghitamkan sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa segala sesuatunya akan menjadi halal bilamana dilakukan untuk pembangunan sekalipun dilakukan dengan melanggar hukum.[34]

 

Bertitik tolak dari kelemahan baik dari aspek hukum maupun aspek pelaksanaan dari PMDN tentang pembebasan tanah serta kemauan politik dari pemerintah, maka pada tanggal 17 Juni 1993 ditetapkan oleh Presiden Keputusan Presiden-No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum.

Keputusan Presiden ini sekaligus mencabut PMDN No. 15 Tahun 1975, PMDN No. 2 Tahun 1976 dan PMDN No. 2 Tahun 1985.

Menurut KEPPRES ini yang dimaksud dengan Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dapat dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pengadaan tanah tersebut dilakukan oleh suatu panitia yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Panitia ini mengadakan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah tentang bentuk atau besarnya ganti ruginya.

Apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan, maka Panitia Pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai dengan kesepakatan. Sebaliknya apabila tidak tercapai kesepakatan, maka panitia mengeluarkan keputusan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi dengan memperhatikan pendapat, keinginan, saran dan pertimbangan yang berhubungan dengan musyawarah.

Kemudian, apabila pemegang hak atas tanah tidak menerima panitia, maka selanjutnya dapat mengajukan banding kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Seterusnya Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengupayakan penyelesaiannya mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, dan seterusnya setelah mengupayakan dan mempelajari pendapat serta keinginan pemegang hak dan pertimbangan Panitia Pengadaan Tanah, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengeluarkan keputusan yang dapat memperkuat keputusan panitia atau mengubahnya.

Apabila cara yang diputuskan oleh Gubernur Daerah Tingkat I tidak diterima juga oleh pemegang hak atas tanah sementara itu lokasi pembangunan itu tidak dapat dipindahkan, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961.

Keluarnya KEPPRES No. 55 Tahun 1993 menurut A.P. Parlindungan sebagai berikut: “Oleh pemerintah telah diterbitkan Keppres No. 55 Tahun 1993 yang sekaligus mencabut ketentuan PMDN No. 15 Tahun 1975 dan PMDN No. 2 Tahun 1975. Dengan demikian Keppres ini akan lebih memenuhi harapan masyarakat akan keadilan ketika tanahnya dibebaskan untuk kepentingan pemerintah.”.[35]

Di samping itu memenuhi harapan masyarakat di sisi lain Keppres ini dilihat dari segi tata urutan peraturan perundang-undangan dan materi muatannya dapat dipertanggungjawabkan, karena Keppres dapat mengatur baik yang berasal dari delegasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun berdasarkan kewenangan mandiri (original power) yang dimiliki Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan penjelasan umumnya.

Adanya kewenangan Presiden seperti di atas juga diakui oleh A. Hamid S. Attamimi sebagai berikut: “Pengaturan yang dilakukan oleh Presiden untuk mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah atau untuk mengatur hal-hal yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut di atas, ialah membentuk Keppres baik yang delegasi maupun yang mandiri”.[36]

Demikian pula dengan Bagir Manan yang mengemukakan sebagai berikut :

Kewenangan membuat atau mengeluarkan keputusan melekat dengan sendiri pada jabatan Presiden. Menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Dan dalam penjelasan disebutkan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa Presiden adalah penanggung jawab dan pemimpin penyelenggaraan pemerintah sehari-hari.”[37]

 

Namun yang penting diketahui materi muatannya tidak boleh mengatur materi muatan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya dan tidak memuat ancaman pidana dan denda, karena hal itu termasuk dalam kewenangan dan materi muatan undang-undang, namun sanksi administrasi dapat dibebankan oleh Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan yang mandiri, seperti pencabutan atau perubahan penetapan yang menguntungkan.

 

2.5.   Hak Pakai Khusus

Apabila diperhatikan UUPA tidak menjelaskan secara khusus pengertian dari hak Pakai Khusus. Menurut Pasal 41 ayat (1) UU No, 5 tahun 1960 “Hak pakai adalan hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewea menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.

Dari ketentuan di atas dapat ditarik beberapa unsur dari hak pakai sebagai berikut:

  1. Menggunakan tanah yang langsung dikuasai negara.
  2. Memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasi negara.
  3. Menggunakan tanah berdasarkan perjanjian pemilik hak milik dengan seseorang, akan tetapi bukan sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
  4. Memungut hasil dari tanah berdasarkan perjanjian pemilik hak milik dengan seseorang, tetapi bukan sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.

Bertitik tolak dari Pasal 41 UU No. 15 Tahun 1960 tersebut A.P. Parlindungan “Membagi Hak Pakai tersebut menjadi dua jenis, yakni Hak Pakai Privat dan Hak Pakai Khusus”.[38]

Kedua jenis hak pakai mempunyai perbedaan yang prinsipil, perbedaannya terlihat sebagai berikut:

  1. Hak pakai privat jangka waktunya terbatas hanya 25 tahun dengan perpanjangan 20 tahun dan dapat diperbaharui, jika tanahnya berasal dari tanah negara dan 25 tahun dengan pembaharuan 25 tahun, jika tanahnya berasal dari hak milik, sedangkan hak pakai khusus jangka waktunya tidak terbatas selama masih digunakan untuk pelaksanaan tugasnya.
  2. Hak pakai privat right of disposalnya, baik yang berasal dari tanah negara maupun tanah hak pengelolaan dapat dialihkan kepada pihak lain dan sekaligus dapat dijadikan objek hak tanggungan, sedangkan Hak pakai khusus tidak dapat dialihkan, kecuali sesama lembaga pemerintahan dan tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan.
  3. Hak pakai privat right to use adalah menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai negara atau yang dikuasai seseorang dengan hak milik, sedangkan Hak pakai khusus adalah memperyunakan tanah untuk pelaksanaan-tugacnya yang berasal dari tanah yang dikuasai negara.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan maksud dari Hak Pakai Khusus adalah hak yang diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, untuk jangka waktu yang tidak tertentu dan selama dipergunakan untuk peruntukannya.

Sekarang timbul pertanyaan siapa saja yang dapat dijadikan subjek hak pakai khusus ?

Menurut Pasal 42 UUPA yang dapat mempunyai Hak pakai ialah :

  1. Warga negara Indonesia
  2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
  3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
  4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Kemudian Pasal 49 ayat (2) menentukan pula sebagai berikut “untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 41 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.”

Perkembangan selanjutnya tentang Subjek hak pakai dapat memperhatikan PMDN No. 6 Tahun 1979 tentang Pedoman penetapan |uang administrasi dan biaya pendaftaran tanah dalam pemberian hak pakai atas tanah negara untuk instansi pemerintah.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Pemberian hak pakai atas tanah negara kepada instansi-instansi pemerintah cq Lembaga Tertinggi/tinggi negara, departemen-departemen, dan lembaga-lembaga non departemen.

Dari perkembangan subjek hak pakai tersebut oleh PP. No. 40 Tahun 1996 subjek hak pakai menjadi luas dan jelas, sebagaimana, yang ditentukan Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996 sebagai berikut: “Yang dapat mempunyai hak pakai adalah:

  1. Warga negara Indonesia
  2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
  3. Departemen Lembaga Pemerintah non departemen, dan Pemerintah Daerah.
  4. Badan-badan keagamaan dan sosial
  5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
  6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
  7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.

Apabila diperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas terlihat dengan jelas ketentuan tersebut tidak membedakan subjek hak pakai privat dengan subjek hak pakai khusus. Akan tetapi apabila dilihat baik right to use maupun right of disposalnya kedua jenis hak pakai itu berbeda, sehingga subjeknyapun berbeda.

Menurut A.P. Parlindungan “Subjek hak pakai khusus tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Publiekrechtelijk, maka di sini adalah Departemen, Ditjen, Lembaga Pemerintahan non Departemen, Pemerintah Daerah, Otorita dan sebagainya.
  2. Publiekrechtelijk internasional, maka di sini adalah perwakilan negara-negara asing untuk kantor dan rumah legasinya.
  3. Publiekrechtelijk agama dan sosial, maka disini dimaksudkan organisasi keagamaan, dan sosial, tentunya dengan rekomendasi dari Departemen Agama dan Sosial.”[39]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan subjek hak pakai khusus adalah sebagai berikut:

  1. Departemen
  2. Direktorat Jendral
  3. Lembaga Pemerintah non departemen
  4. Pemerintah Daerah
  5. Perwakilan Negara Asing
  6. Badan-badan keagamaan dan sosial
  7. Otorita

2.6.   Pendaftaran Tanah dan Pendaftaran Hak Pakai Khusus

Menurut sistem UUPA, selain dari mengatur hubungan negara dengan tanah, batas maksimal penguasaan atas tanah oleh perorangan atau badan hukum, tanah yang berfungsi sosial, pencabutan dan pelepasan hak atas tanah juga ditentukan pula pendaftaran tanah atas hak atas tanah yang diberikan oleh negara.

Pendaftaran tanah ini di dalam UUPA ada empat pasal yang menjadi dasar hukum kewajiban melakukan pendaftaran tanah di Indonesia. Keempat pasal tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pasal 19 UUPA

(1)   Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;

(2)   Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:

  1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
  2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

(3)   Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4)   Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

 

  1. Pasal 23 UUPA

(1)   Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftar menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2)   Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

 

  1. Pasal 32 UUPA

(1)   Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2)   Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

 

  1. Pasal 38 UUPA

(1)   Hak guna bangunan termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19

(2)   Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

 

Sehubungan dengan pasal-pasal pendaftaran tanah ini, menurut A.P. Parlindungan sebagai berikut:

“Pendaftaran tersebut dalam pasal 19 adalah ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah dengan tujuan-tujuan seperti yang sudah dibicarakan di atas. Namun kita mengenai pendaftaran yang diatur dalam pasal 23, 32 dan 38 yang lebih banyak ditekankan untuk kepentingan yang bersangkutan.”[40]

 

Kemudian untuk melaksanakan dari Pasal 19 ayat (1), maka tanggal 23 Maret 1961 oleh Presiden ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, tentang Pendaftaran Tanah.

Sehubungan dengan PP No. 10 Tahun 1961 menurut Antje. M. Ma’moen sebagai berikut:

“PP No. 10 Tahun 1961 pada garis besarnya membedakan pengertian pendaftaran tanah antara “Pendaftaran Tanah” dengan “Pendaftaran hak”. Bab II PP. No. 10 Tahun 1961 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pendaftaran Tanah adalah pengukuran dan pemetaan seluruh tanah yang berada di sesuatu desa dengan didahului oleh penyelidikan riwayat tanah dan penentuan batas-batasnya. Hasil pengukuran dan pemetaan tersebut setelah disahkan kemudian dicatat dalam daftar tanah, daftar nama, daftar buku “tanah dan daftar surat ukur. Sedangkan yang dimaksud dengan pendaftaran hak diatur dalam Bab III Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1261 ialah pembukuan atau pencatatan hak-hak atas tanah.”[41]

 

Sekarang timbul pertanyaan hak-hak atas tanah apa saja-harus didaftar menurut UUPA ?

Menurut A.P. Parlindungan “Yang mempunyai dasar hukum pendaftaran hak atas tanah yang diatur dalam UUPA hanya Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan menurut pasal23, 32 dan 38 UUPA sebagai hak atas tanah wajib didaftarkan.”[42]

Bertitik tolak dari pendapat di atas Hak pakai salah satu hak yang diakui eksistensinya oleh UUPA tidak wajib didaftar, namun demikian lebih lanjut A. P. Palindungan mengemukakan sebagai berikut “tidak adanya keharusan didaftar diduga mungkin kelupaan, namun yang jelas hak pakai harus didaftar seperti juga hak milik dan sebagainya.”[43]

Menurut hemat penulis dugaan itu ada benarnya, mengingat tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah.

Menurut R. Soeprapto “Kepastian hukum yang ingin dicapai oleh UUPA melalui pendaftaran tanah meliputi tiga hal:

  1. Kepastian hukum mengenai subjek hukum pemegang hak atas tanah.
  2. Kepastian hukum mengenai objek yaitu mengenai tanah itu sendiri.
  3. Kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah yang menjadi alas hubungan hukum antara subjek hukum dengan objek hukum.[44]

 

Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian mengenai subyek dan obyek dengan kata lain menerangkan kepastian tentang siapa yang menjadi pemilik atas tanah, serta menerangkan dimana letak tanah dan batasnya juga hak apa yang melekat pada tanah tersebut.

Bertitik tolak dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hak pakai, baik hak pakai privat maupun hak pakai khusus harus didaftar.

Adapun ketentuan yang mengharuskan pendaftaran tanah yang berasal dari hak pakai adalah Keputusan Menteri Agraria No. SK VI/5/Ka/1962 yang diganti dengan PMA No. 1 Tahun 1966, sebagaimana yang dikemukakan oleh A.P. Parlindungan sebagai berikut: “……………., dengan keputusan Menteri Agraria Nomor SK. VI/5/Ka tanggal 20 Januari 1962 tentang pendaftaran Hak penguasaan dan Hak pakai menyatakan bahwa hak pakai harus juga didaftar menurut PP No. 10 Tahun 1961 dan peraturan SK VI/5/Ka tersebut, kemudian diganti/diatur dengan PMA 1/1966 tanggal 5 Januari 1966.”[45]

Terakhir ketentuan yang mengharuskan Hak Pakai Khusus didaftar adalah Pasal 43 PP No. 40 Tahun 1996 sebagai berikut :

(1)   Hak pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.

(2)   Hak Pakai atas tanah negara dan atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftarkan oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)   Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak pakai diberikan sertifikat hak atas tanah.

 

Meskipun adanya keharusan pendaftaran tanah terhadap Hak pakai khusus, ternyata belum terlaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga sering menimbulkan masalah, terutama terhadap Tanah Bengkok atau tanah Titisara yang menurut Pasal VI ketentuan Konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai.

Permasalahan tersebut diungkap oleh R.H. Unang Sunardjo sebagai berikut:

“Berdasarkan PMDN No. 2 Tahun 1982 pada Pasal 3 disebutkan bahwa kekayaan desa terdiri atas :

  1. Tanah-tanah kas desa.
  2. Pemandian umum yang diurus oleh desa.
  3. Pasar desa.
  4. Obyek-obyek rekreasi yang diurus oleh desa.
  5. Bangunan milik desa.
  6. Lain-lain kekayaan milik Pemerintah Desa.

 

Dari 6 macam kekayaan desa tersebut di atas, yang paling banyak menimbulkan permasalahan adalah mengenai tanah-tanah Kas Desa.

Permasalahan mengenai hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

  1. Belum adanya pengukuran bagi semua tanah-tanah kas desa yang terdiri dari tanah-tanah Titisara, Pengonan dan Bengkok (berdasar sebutan tradisonal) oleh Direktorat Jendral Agraria, kecuali bila terjadi “mutasi” untuk kepentingan pembangunan. Akibatnya sampai sekarang ini tidak ada data yang akurat dan menyeluruh di setiap Propinsi Daerah Tingkat I, sedangkan menurut peraturan perundang-undangan semua tanah-tanah yang digunakan untuk keperluan pemerintah (tanah negara yang dihakpakaikan kepada Pemerintah) harus diukur dan didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat, dan diberi sertifikat.
  2. Dengan belum adanya data yang akurat, maka banyak tanah-tanah Titisara yang sudah lama digunakan untuk bangunan SD Inpres, Pos Kesehatan Desa dan bangunan kepentingan umum lainnya, masih tercatat di Direktorat Agraria Propinsi (karena banyak laporan mutasi belum masuk) sebagai lahan yang menghasilkan uang bagi kepentingan Pemerintah Desa, sedangkan sebenarnya tidak demikian.
  3. Banyak pula terjadi tukar menukar Tanah Bengkok dengan tanah milik rakyat untuk memenuhi persyaratan lokasi bagi suatu bangunan umum seperti SD Inpres, Puskesmas Pembantu atau Madrasah Ibtidaiyah atau Kantor Perwakilan Kecamatan atau Kantor Polisi atau Kantor Desa baru hasil pemecahan dan bangunan-bangunan lainnya, yang tidak secara cepat didaftarkan di Kantor Agraria Kabupaten, sehingga dianggap tidak ada mutasi.[46]

 

Sebagaimana yang dijelaskan terdahulu, bahwa Hak Pakai pendaftarannya harus menggunakan PP No. Tahun 1961.

Menurut Pasal 2 PP No. 10 Tahun 1961 ditentukan sebagai berikut :

  1. Pendaftaran tanah diselenggarakan desa demi desa atau daerah-daerah yang setingkat dengan itu selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebutkan : desa.
  2. Menteri Agraria menetapkan saat mulai diselenggarakannya pendaftaran tanah secara lengkap di sesuatu daerah.

 

Pendaftaran tanah desa demi desa dimulai dari Desa Lengkap dan Daerah Persiapan. Desa Lengkap adalah desa yang pendaftaran tanahnya telah diselenggarakan secara lengkap atau desa yang oleh Manteri Agraria dengan Surat Keputusan ditetapkan desa yang peta-peta dan daftaran lainnya sudah disahkan menurut ketentuan Pasal 6 PP No. 10 Tahun 1961, sedangkan daerah persiapan adalah daerah mana pendaftaran tanah akan dilaksanakan.

Pendaftaran tanah dilakukan desa demi desa dapat dilak­sanakan atau dikatakan secara lengkap apabila ditetapkan oleh Menteri Agraria. Di daerah-daerah yang ditetapkan oleh Menteri Agraria, semua daerah diukur desa demi desa, kemudian apabila suatu desa oleh Menteri Agraria dinyatakan sudah saatnya diselenggarakan pendaftaran tanah secara lengkap, maka sebelum adanya penetapan tersebut Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah terlebih dahulu menetapkan daerah tersebut sebagai daerah persiapan. Apabila suatu daerah dinyatakan sebagai daerah persiapan, maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Melaksanakan :

  1. Pengukuran titik dasar daerah persiapan.
  2. Pembuatan peta titik dasar.
  3. Pembagian daerah persiapan dalam lembar-lembar, kemudian melakukan pengukuran dan pembuatan peta situasi.

Setelah peta situasi dari daerah persiapan dibuat, maka Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah mengusulkan kepada Menteri supaya daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah yang pendaftaran tanahnya dapat diselenggarakan secara lengkap. Pembuatan peta situasi oleh Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah menetapkan batas waktu untuk melaksanakan penyelidikan dan penetapan batas-batas semua bidang tanah yang kemudian akan dibuat peta pendaftarannya Jika penyeli­dikan penetapan batas-batas tersebut tidak selesai dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah tetap akan membuat peta pendaftaran tanah dalam daerah tersebut. Setelah semua daerah, selesai dipeta yang dibuat lembar demi lembar, maka peta pendaftaran desa itu disahkan.

Kemudian, apabila semua peta pendaftaran dari suatu desa disahkan, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah yang belum dipeta dalam peta pendaftaran, maka untuk keperluan pendaftarannya haknya dilakukanlah pemetaan bidang tanah demi bidang tanah dengan ketentuan penyelidikan riwayat dan penetapan batas-batasnya tetap dilakukan oleh Panitia. Panitia itu terdiri dari seorang pegawai Kantor Pendaftaran Tanah sebagai Ketua dan dua orang aparatur pemerintah desa sebagai anggota, jika dipandang perlu panitia dapat ditambah dengan pejabat Jawatan Agraria, Pamong Praja dan Kepolisian Negara.

Sebelum diadakan pengukuran, terlebih dahulu diadakan penyelidikan riwayat bidang tanah dan penetapan batas-batasnya. Hasil penyelidikan riwayat bidang tanah dan penunjukan batas-batas yang bersangkutan ditulis dalam daftar isian yang bentuknya telah ditetapkan oleh Pendaftaran Tanah dan ditandatangani oleh panitia serta para pemegang haknya.

Pengukuran seperti itu akan menghasilkan peta pendaf­taran yang memperlihatkan dengan jelas hak atas tanah dalam desa dengan batas-batasnya, baik yang kelihatan maupun yang tidak.

Setelah peta pendaftaran tanah dan daftar isian dibuat kemudian ditempatkan di Kantor Kepada Desa selama tiga bulan, apabila selama 3 bulan tidak ada yang mengajukan keberatan, maka peta pendaftaran dan daftar isian itu disahkan oleh panitia. Sebaliknya, apabila dalam waktu 3 bulan tersebut ada yang mengajukan keberatan mengenai penetapan batas-batas dan isi daftar dan panitia menganggap keberatan tersebut beralasan, maka panitia akan mengadakan perubahan dalam peta ataupun daftar isian yang bersangkutan.

Setelah ada pengesahan dari panitia, maka tiap-tiap tanah yang batas-batas maupun yang berhak atasnya telah ditetapkan haknya, kemudian dibukukan dalam Daftar Buku Tanah. Tiap-tiap hak yang dibukukan itu dibuat salinan buku tanahnya, demikian pula setiap surat ukur dibuat rangkap dua. Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit bersama sampul yang telah ditetapkan, inilah yang dinamakan Sertifikat Hak Atas Tanah yang diberikan pada yang berhak.

Selain pendaftaran di desa lengkap dapat pula dilakukan pendaftaran tanah di luar desa lengkap yang dilakukan pengukuran secara partial, akan tetapi tetap harus memenuhi syarat administrasi, yuridis dan teknis, yakni adanya suatu titik untuk menelusuri daerah tersebut dan titik utama itu berupa tugu permanen. Adapun sertifikat yang diterbitkan adalah Sertifikat Sementara yang dilampiri dengan Gambar Situasi (GS).

Setelah lebih kurang 36 tahun berlakunya PP No.10 Tahun 1961 oleh Pemerintah dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan peraturan pendaftaran tanah guna mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pembangunan nasional.

Penyempurnaan peraturan tersebut dituangkan di dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ditetapkan tanggal 8 Juli 1997 dan diundangkan tanggal 8 Juli 1997 dalam LNRI No. 59 Tahun 1997.

Menurut Pasal 1 PP No. 24 Tahun 1997 dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah, di antaranya:

  1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
  2. Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
  3. Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini.
  4. Pendaftaran tanah secara sistemik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
  5. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaf­taran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

Menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah bertujuan:

  1. Untuk memberikan kepastian hukum atau perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
  2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yarg diperlukan dalam mengada-kan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
  3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Adapun obyek pendaftaran tanah meliputi, antara lain:

  1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
  2. Tanah hak pengelolaan.
  3. Tanah wakaf.
  4. Hak milik atas satuan rumah susun
  5. Hak tanggungan
  6. Tanah negara.

Selanjutnya Pasal 65 PP No. 24 Tahun 1997 menyatkaan PP No. 10 Tahun 1961 tidak berlaku. Kecuali peraturan pelaksananya sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan peraturan pemerintah ini.

Peraturan pemerintah ini mulai berlaku tiga bulan sejak diundangkan. Ini berarti Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 akan berlaku sejak tanggal 8 Oktober 1997.

 

2.7.   Pemerintahan Desa

2.7.1.      Perbedaan Desa dan Kelurahan

Sebelum Tahun 1979 sistem pemerintahan desa di Indonesia dikenal berbagai nama dan corak penyelenggaraan pemerintahan desa seperti desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Huta di Tapanuli, Marga di Sumatera Selatan dan Mendapo di Kerinci Jambi.

Desa-desa tersebut baik yang terbentuk berdasarkan geneologis, teritorial maupun campuran di dalam menyelenggarakan roda pemerintahannya didasarkan kepada Adat, kebiasaan dan Hukum Adat.

Akibat bermacam-macam dan ragam pemerintahan desa tersebut, dirasakan oleh Pemerintah Orde Baru ditemukan kendala-kendala di dalam melakukan pembinaan dan pengendaliannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1979 sebagai berikut:

“Keadaan pemerintahan desa sekarang ini adalah sebagai akibat dari undang-undang lama yang pernah ada, yang mengatur desa yaitu Inlandsche Gemeente Ordonatie (stb. 1906 Nomor 83) yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Ordonnantie Buitengewesten (Stbl 1938 No. 490 jo stbl 1938 No. 661) yang berlaku untuk di luar Jawa dan Madura.

 

Peraturan perundang-undangan di atas ini tidak mengatur pemerintahan desa secara seragam dan kurang memberikan dorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh ke arah kemajuan yang dinamis. Akibatnya desa dan pemerinta­han desa yang ada sekarang ini bentuk dan coraknya masih beraneka ragam, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinya sendiri, yang kadang-kadang merupakan hambatan untuk pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat”.

 

Bertitik tolak dari bentuk dan corak yang beraneka ragam tersebut pada tanggal 1 Desember 1979 dilakukan penyeragaman melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dilaksanakan dengan Instruksi Mendagri No. 9 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan desa.

Menurut Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1979 yang dimak’sud. dengan:

  1. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara. Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Memperhatikan kedua rumusan di atas terlihat perbedaan antara desa dengan kelurahan. Perbedaannya terletak dalam hal penyelenggaraan rumah tangganya. Desa berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri, sedangkan kelurahan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Desa yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dapat pula dinamakan “hak otonomi desa”.

“Namun perlu diperhatikan bahwa hak otonomi desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tidaklah sama atau bukanlah hak otonomi daerah tingkat I dan daerah otonomi tingkat II sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Sebab apabila hak otonomi desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979 adalah tumbuh dari bawah, jadi asli, sedangkan hak otonomi tingkat I dan daerah otonomi tingkat II sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 adalah pemberian secara formal berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Menurut B.N. Marbun perbedaan antara desa dengan kelurahan sebagai berikut:

  1. Desa
    1. Berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.
    2. Dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa.
    3. Desa terletak dalam wilayah/daerah kabupaten/Dati II di luar ibu -kota kabupaten.
      1. a. Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa

b. Pemerintah desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat desa

c. Perangkat desa terdiri atas sekretariat desa dan kepala-kepala dusun

  1. Desa dipimpin oleh Kepada desa.

 

  1. Kelurahan
    1. Tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
    2. Lingkungan adalah bagian wilayah dalam kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan kelurahan.
    3. Dalam ibu kota negara, ibu kota propinsi, ibu kota kabupaten, kotamadya, kota administrati, dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan peraturan menteri dalam negeri, dapat dibentuk kelurahan.
      1. a. Pemerintahan kelurahan terdiri dari kepala kelurahan dan perangkat kelurahan.

b. Perangkat kelurahan terdiri dari Sekretariat Kelurahan dan kepala-kepala lingkungan.

  1. Kelurahan dipimpin oleh Kepala Kelurahan.”[47]

 

Sedangkan menurut R.H. Unang Soemardjo perbedaan desa dengan kelurahan adalah sebagai berikut:

Desa

  1. Kepala Desa dipilih
  2. Kepala Desa dan personel perangkat desa bukan Pegawai Negeri   Sipil
  3. Diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri
    1. Pemerintah terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa, dibantu perangkat desa
    2. Memiliki kekayaan sendiri dan sumber pendapatan asli desa
    3. Berhak membuat Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa
    4. Berhak membuat keputusan desa
    5. Bagian wilayahnya dari mulai batas kota hingga ke pedalaman/ pelosok-pelosok
    6. Bagian wilayahnya disebut Dusun
    7. Masyarakatnya punya ciri-ciri dan sifat Masyarakat Pedesaan/ rural.

Kelurahan

  1. Kepala Kelurahan tidak dipilih tetapi diangkat
  2. Baik Kepala maupun personal perangkat kelurahan adalah Pegawai Negeri Sipil
  3. Tidak diberi hak mengurus rumah tangga sendiri
  4. Pemerintah terdiri dari Kepala Kelurahan dan Perangkatnya
  5. Tidak memiliki kekayaan sendiri hanya ada inventaris kelurahan
  6. Tidak punya Anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan, sebab anggaran keuangan termasuk di dalam APBD Kotamadya atau Kabupaten.
  7. Tidak berhak membuat “Keputusan Kelurahan”
  8. Batas wilayahnya secara umum sama dengan batas wilayah desa kota dahulu
  9. Bagian wilayahnya disebut lingkungan
  10. Masyarakatnya disebut masyarakat kota/urban”[48]

Dari kedua pandangan terlihat dengan jelas perbedaan yang prinsipil antara desa dengan kelurahan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

 

2.7.2.      Susunan Organisasi Tata Kerja Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa.

 

Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 ditentukan sebagai berikut :

(1)   Pemerintahan Desa terdiri atas

  1. Kepala Desa
  2. Lembaga Musyawarah Desa

(2)   Pemerintahan Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat desa

(3)   Perangkat desa terdiri atas

  1. Sekretariat desa
  2. Kepala-kepala dusun

(4)   Susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan desa dan Perangkat desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh menteri Dalam Negeri.

Ketentuan di atas dijabarkan lebih lanjut dalam PMDN No. 1 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut:

  1. Susunan organisasi Pemerintahan Desa terdiri dari:
    1. Kepala Desa
    2. Lembaga Musyawarah Desa
    3. Perangkat Desa
    4. Susunan organisasi Lembaga Musyawarah Desa terdiri dari :
      1. Ketua
      2. Sekretaris
      3. Anggota (minimal 9 orang, maksimal 9 orang tidak termasuk Ketua dan Sekretaris)
      4. Perangkat desa terdiri atas:
        1. Sekretariat desa
        2. Kepala-kepala dusun
        3. Sekretariat desa terdiri dari:
          1. Sekretaris desa
          2. Kepala-kepala urusan.

Adapun tugas Kepala desa adalah sebagai berikut:

  1. Menjalankan urusan rumah tangganya sendiri
  2. Menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa termasuk pembinaan ketentraman dan keterlibatan di wilayah desanya.

Untuk melaksanakan tugas di atas Kepala Desa mempunyai fungsi sebagai berikut:

  1. Melakukan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga desanya sendiri
  2. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya
  3. Melaksanakan tugas dari pemerintah clan pemerintah daerah
  4. Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat umum
  5. Melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di desa
  6. Melaksanakan urusan pemerintah lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga desanya sendiri.

Sedangkan tugas Lembaga Musyawarah Desa (L.M.D) adalah menyalurkan pendapat masyarakat desa dengan memusyawarahkan setiap rencana yang diajukan oleh Kepada Desa sebelum ditetapkan menjadi Keputusan Desa. Adapun fungsinya melaksanakan kegiatan musyawarah/mufakat dalam rangka menyusun Keputusan Desa.

Adapun Sekretariat Desa sebagai unsur staf pembantu Kepala Desa mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

  1. Bertindak rnemimpin sekretariat desa
  2. Fungsinya ialah melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan, pembangurian dan kemasyarakatan.

Berdasarkan uraian di atas jelas organisasi pemerintahan desa dan tata kerja cukup komplek. Kekomplekan ini berkaitan dengan beban tugas yang diembannya. Oleh karena itu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan desa sangat tergantung dengan pimpinan Kepala Desa dan perangkatnya serta sumber pendapatan desa yang memadai guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut.

 

2.7.3.      Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa

Konsekuensi dari desa yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sandiri, desa tersebut harus memiliki sumber pendapatan dan kekayaan desa yang diusahakan dan digunakan sendiri dalam menyelenggarakan roda pemerintahannya.

Menurut Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1979 sumber pendapatan desa terdiri atas:

  1. Pendapatan asli desa sendiri yang terdiri dari:
    1. Hasil-hasil tanah kas desa
    2. Hasil dari swadaya dan partisipasi masyarakat desa
    3. Hasil dari gotong royong masyarakat
    4. Lain-lain hasil dari usaha desa yang sah.
    5. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan Pemerintah daerah yang terdiri dari:
      1. Sumbangan dan bantuan pemerintah
      2. Sumbangan dan bantuan pemerintah daerah
      3. Sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada desa.
      4. Lain-lain pendapatan yang sah.

 

Ketentuan lebih lanjut tentang sumber pendapatan dan kekayaan desa, pengurusan dan pengawasannya beserta penyusunan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Kelanjutan dari pelaksanaan Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1979 ini tahun 1982 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1982 tentang. Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa, Pengurusan dan Pengawasannya.

Menurut Pasal 2 PMDN No.1 Tahun 1982 ditentukan sebagai berikut:

(1)   Sumber pandapatan desa terdiri dari:

  1. Pendapatan asli desa sendiri
  2. Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan Pemerintah Daerah
  3. Lain-lain pendapatan yang sah.

(2)   Pendapatan asli desa sendiri sebagai dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri:

  1. Kekayaan desa
  2. Hasil swadaya dan partisipasi masyarakat desa
  3. Hasil dari gotong royong masyarakat desa
  4. Pungutan desa
  5. Lain-lain hasil usaha desa yang sah, antara lain: usaha-usaha ekonomi desa dan Lumbung Desa, yang berasal dari Bantuan Pembangunan Desa.

(3)   Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai dimaksud dalam ayat (1) huruf b, terdiri dari:

  1. Sumbangan dan bantuan Pemerintah.
  2. Sumbangan dan bantuan Pemerintah Daerah
  3. Sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada desa.

(4)   Lain-lain pendapatan yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, adalah pendapatan-pendapatan yang berasal dari sumbangan dan atau bantuan dari pihak ketiga yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Kemudian Pasal 3 PMDN No. 1 Tahun 1982 menentukan pula tentang kekayaan desa yang terdiri dari:

  1. Tanah-tanah kas desa
  2. Pemandian umum yang diurus oleh desa
  3. Pasar desa
  4. Obyek-obyek rekreasi yang diurus oleh desa
  5. Bangunan milik desa
  6. Lain-lain kekayaan Pemerintah Desa.

Penjabaran lebih lanjut dari PMDN No. 1 Tahun 1982, oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1985. Peraturan ini telah memperinci sumber-sumber pendapatan desa sebagai berikut:

  1. Pendapatan asli desa terdiri dari:
    1. Kekayaan desa, yang terdiri dari tanah kas desa, obyek-obyek rekreasi yang diurus oleh desa, bangunan milik desa, lain-lain kekayaan milik pemerintah desa atau pengelolaannya diserahkan kepada desa.
    2. Hasil dari swadaya dan masyarakat desa
    3. Hasil dari gotong royong masyarakat desa
    4. Pungutan desa
    5. Lain-lain hasil usaha desa yang sah antara lain, usaha-usaha ekonomi desa dan Lumbung Desa.
    6. Penerimaan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sumbangan dan bantuan dari Pemerintah Daerah yang terdiri dari Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi dan Pemerintah daerah Tingkat II, sebagian dari pajak dari retribusi daerah yang diberikan kepada desa, antara lain, PRT I & PRT II, 10 % dari retribusi tambang bahan galian C, pajak radio, pajak potong hewan, pajak anjing, peneng sepeda/gerobak/perahu, penomoran rumah desa dan lain-lain yang sah yang berasal dari sumbangan atau bantuan pihak ketiga yang sah.

Perlu diketahui dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, bahwa desa berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, pengertian berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri tidaklah sama artinya dengan hak otonomi daerah yang terdapat pada Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Otonomi desa pada hakekatnya tumbuh dari musyawarah dan diperoleh secara tradisional yang bersumber dari desa itu sendiri, sedangkan otoriomi daerah pada hakekatnya sebagai pendelegasian kewenangan dari pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah berdasarkan asas desentralisasi yang pelaksanaan diserahkan secara formal oleh Pemerintah kepada daerah melalui Peraturan perundang-undangan.

Oleh karena otonomi desa yang tumbuh dan diperoleh dari desa itu sendiri/maka keberhasilan desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, akan banyak tergantung dari sumber pendapatan desa sebagai sumber pembiayaannya.

 

2.7.4.      Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa

Sebagaimana diketahui, bahwa di dalam menyelenggarakan pemerintahan desa selama ini administrasi pemerintahan belum dikelola secara baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai kepada pengawasannya. Akibatnya sulit diketahui berapa jumlah sumber pendapatan dan kekayaan desa yang telah ada serta pembangunan apa yang telah dilaksanakan. Kurang baiknya pengelolaan tersebut dikarenakan secara yuridis belum adanya dasar hukum yang mengaturnya.

Bertitik tolak dari hal itu semenjak berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 bagi desa yang diberi hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri diharuskan setiap tahun anggaran membuat Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD).

Proses penyusunan APPKD tersebut diatur dalam PMDN No. 3 Tahun 1982 yang telah disempurnakan dengan PMDN No. 2 Tahun 1991 tentang Penyusunan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa.

Adapun maksud dari Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa adalah rencana operasional tahunan daripada program umum pemerintahan dan pembangunan desa yang dijabarkan dan diterjemahkan dalam angka-angka rupiah, di satu pihak mengandung perkiraan target penerimaan dan di lain pihak mengandung perkiraan batas tertinggi pengeluaran keuangan desa.

Anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan desa tersebut sama dengan Tahunan Anggaran Negara yaitu 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya

Anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan desa terdiri dari dua bagian, yakni bagian penerimaan dan bagian pengeluaran dan bagian pengeluaran diperinci pula menjadi bagian pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan uraian berikut :

  1. Bagian penerimaan terdiri atas:
    1. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu
    2. Pendapatan asli desa
    3. Sumbangan dan Bantuan dari Pemerintah
    4. Sumbangan dan Bantuan dari Pemerintah Daerah Tingkat I
    5. Sumbangan dan Bantuan dari Pemerintah Daerah Tingkat II
    6. Lain-lain pendapatan yang sah.
    7. Bagian pengeluaran rutin terdiri atas:
      1. Belanja pegawai
      2. Belanja barang
      3. Belanja pemeliharaan
      4. Biaya perjalanan dinas
      5. Belanja lain-lain
      6. Pengeluaran tidak terduga.
      7. Bagian pengeluaran pembangunan terdiri atas:
        1. Pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan
        2. Pembangunan prasarana produksi
        3. Pembangunan prasarana pemasaran
        4. Pembangunan prasarana perhubungan
        5. Pembangunan prasarana sosial
        6. Pembangunan lain-lain.

Perlu diketahui Anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan desa tersebut setiap tahun anggaran ditetapkan dengan Keputusan Desa. Keputusan desa ini terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh Kepala Desa dengan Lembaga Musyawarah Desa (L.M.D).

Kemudian disampaikan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II melalui Camat untuk mendapat pengesahannya. Apabila Bupati/Walikotamadya menolak sebagian atau seluruhnya harus disertai penjelasan yang merupakan petunjuk penyempurnaannya. Dan apabila satu bulan setelah disampaikan kepada Bupati/Walikotamadya belum mendapat pengesahan, maka Anggaran Desa telah dianggap disahkan.

 

BAB III

METODE PENELITIAN

 

3.1.   Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari yang merupakan salah Daerah Tingkat II dari enam (6) Daerah Tingkat II yang ada di Provinsi Tingkat I Jambi. Daerah Tingkat II ini merupakan salah satu dari 26 Daerah Tingkat II percontohan (uji coba) pelaksanaan otonomi daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II di Negara Repulik Indonesia.

 

3.2.   Spesifikasi Penelitian

Penelitan ini bersifat deskritif analitis, yang akan mendiskripsikan aspek pengadaan Tanah Kas Desa, aspek pendaftaran tanah dan aspek peranan dalam penyelenggarakan pemerintah desa. Pendekatan yang digunakan adalah juridis sosiologis.

 

3.3.   Sumber Data

3.3.1.      Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari perpustakaan dengan mempelajari :

  1. Bahan-bahan hukum primer yang berupa Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
  2. Bahan-bahan sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu buku-buku dibidang hukum Agraria dan Pemerintahan desa.
  3. Studi Dokumen, yakni mempelajari dokumen-dokumen resmi yang diterbitkan oleh Intstansi Pemerintah yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3.3.2.      Data Primer

Data Primer ini diperoleh dari anggota masyarakat, yang terdiri dari pemegang hak milik adat atau yang menguasai tanah dan pejabat yang tugasnya berkaitan dengan masalah yang diteliti.

 

3.4.   Metode Pengambilan Sampel

3.4.1.      Sampel Area

Daerah penelitian ini meliputi Kecamatan yang ada di Kabupaten Daerah Tingkat II batanghari, yang terdiri dari 12 Kecamatan dan 207 desa, yaitu :

  1. Kecamatan Mersan dengan 11 desa
  2. Kecamatan Muara Tembesi dengan 11 desa
  3. Kecamatan Batin XXIV dengan 14 desa
  4. Kecamatan Muara Bulian dengan 19 desa
  5. Kecamatan Pemayung dengan 17 desa
  6. Kecamatan Jambi Luar Kota dengan 18 desa
  7. Kecamatan Mestong dengan 21 desa
  8. Kecamatan Sakernan dengan 14 desa
  9. Kecamatan Maro Sebo 19 desa
  10. Kecamatan Kumpeh dengan 17 desa
  11. Kecamatan Perwakilan Maro Sebo Ulu dengan 14 desa
  12. Kecamatan Perwakilan Kumpeh Ulu dengan 21 desa.

Mengingat luasnya daerah penelitian dan hampir sama karakteristik desanya, maka sampel Kecamatan ditentukan sebanyak 50 % sehingga jumlah sampel menjadi 50 / 100 x 12 = 6 buah Kecamatan, jumlah ini dianggap representatif untuk mewakili Kecamatan lain. Untuk menentukan keenam Kecamatan tersebut dilakukakan dengan cara random sampling, maka terpilih Kecamatan (1) Kecamatan Muara Bulian, (2) Jambi Luar Kota, (3) Pemayung, (4) Sakernan, (5) Bathin XXIV dan (6) Muara Tembesi

Dari perincian diatas diperoleh desa sampel sebanyak 21 desa (10% jumlah populasi desa penelitian).

Seterusnya untuk menentukan desa sampel yang akan dijadikan sasaran penelitian ini dilakukan dengan cara purposive dengan kriteria desa tersebut berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dan Tanah Kas Desa berasal dari tanah milik adat / yang dikuasai rakyat.

 


3.5.   Responden

Untuk penelitian responden ditentukan sebanyak pemilik kebun karet yang tanahnya bebas atau dilepaskan hak atas tanah untuk kepentingan Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari.

Sedangkan untuk pejabat sampel juga diambil secara purposive sampling dengan kriteria yaitu pejabat-pejabat yang karena tugas dan jabatannya dianggap paling mengeathui masalah yang diteliti, yaitu :

  1. Pejabat di lingkungan Biro Bina Pemerintah Desa Propinsi Daerah Tingkat I Jambi
  2. Pejabat di lingkungan Bagian Bina Pemerintah Desa Kabupaten Tingkat II Batanghari.
  3. Pejabat di lingkungan Kantor Wilayah BPN Propinsi Jambi.
  4. Pejabat di lingkungan Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari.
  5. Pejabat di lingkungan Kecamatan Sakernan, Jambi Luar Kota, Pemayung, Muara Bulian, Muara Tembesi dan Batin XXIV.
  6. Kepala desa- Kepala desa di desa-desa sampel penelitian.

 

3.6.   Alat Pengumpulan Data

3.6.1.      Kuisioner

Kuisioner digunakan untuk responden pemegang Hak Milik adat atau yang menguasai hak atas tanahnya. Kuisioner ini menggunakan sistem tertutup dan terbuka.


3.6.2.      Wawancara

Wawandcara dilakukan dengan responden pejabat, wawancara yang dilakukan adalah wawancara dengan berpatokan pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu.

 

3.7.   Definisi Operasional

  1. Pengadaan tanah adalah suatu kegiatan mendapat tanah untuk kepentingan pembangunan yang dilaksanakan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan memberi ganti rugi yang dilakukan dengan cara musyawarah melalui suatu panitia. Untuk penelitian ini yang diamati adalah (a). kepanitiaan (b) cara pelapasan hak (c) jumlah atau bentuk ganti rugi.
  2. Pendaftaran Tanah adalah kegiatan pengukuran, pemetaan dan pengakuan atas sebidang tanah, agar memperoleh kepastian hukum, untuk penelitian ini yang diamati adalah (a) proses pendaftaran (b) bukti-bukti yang diperlukan (c) pemegang haknya.
  3. Peranan Tanah Kas Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa adalah peranan hasil Tanah Kas Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang tergambar dalam Anggaran Pemerintah dan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD) setiap tahun anggaran. Untuk penelitian ini diamati adalah (a) Sitsem pengelolaan Tanah Kas Desa (b) perbandingan hasil Tanah Kas Desa dengan hasil sumber pendapatan lainnya (c) manfaat Tanah Kas Desa untuk pembengunan.

 

3.8.   Analisa Data

Terhadap data yang telah dikumpulkan, kemudian dilakukan editing, guna memeriksa kembali perlengkapan jawaban atau informasi, relevansi bagi penelitian maupun keseragaman data.

Setelah semua data diedit selanjutnya dilakukan koding dengan membuat klasifikasi jawaban-jawaban tersebut untuk memudahkan kegiatan analisis.

Tahap berikutnya dianalisis secara kualitatif dengan memperlajari jawaban-jawaban yang dinyatakan oleh para responden, oleh karena sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif hipotesis dan hanya akan memberikan gambaran terhadap masalah yang ingin dijawab.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

4.1.   Hasil Penelitian

4.1.1.      Gambaran umum Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari

  1. a.      Letak Geografis

Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari merupak salah satu Daerah Tingkat II di Propinsi Daerah Tingkat I Jambi. Daerah ini dibentuk berdasarkan UU No.7 Tahun 1965 LN Tahun 1965 No. 50 dengan Ibukota Kenali Asam, akan tetapi semenjak dikeluarkan P.P No.12 Tahun 1979 Ibukota Kabupaten DATI II Batanghari dipindahkan ke MuaraBulian.[99]

Kabupaten DATI II Batanghari secara geografis terletak diantara 1º – 15º Lintang Selatan sampai dengan 2º – 2’ Lintang Selatan dan diantara 102º – 30’ Bujur Timur sampai dengan 104º – 30’ dengan batas-batas sebagai berikut :

  1. Sebelah Utara berbatas dengan Kabupaten DATI II Tanjung Jabung dan Kabupaten DATI II Bungo Tebo.
  2. Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten DATI II Musi Banyu Asin Propinsi DATI I Sumatera Selatan.
  3. Sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten DATI II Tanjung Jabung.
  4. Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten DATI II Bungo Tebo dan Kabupaten DATI II Sarolangun Bangko.
  5. b.      Topografis

Kabupaten DATI II Batanghari menurut elevasi teridiri dari 0 – 10 meter dari permukaan laut (11,80 %) 11 – 80 meter dari permukaan laut (4,50 %) dengan kata lain merupakan daerah rawa dan dataran rendah serta selalu tergenang air sepanjang tahun.

  1. c.       Iklim

Kabupaten DATI II Batanghari beriklim tropic berkisar antara 20º – 30ºC, dengan dua musin yaitu musin hujan dan musin kemarau. Curah hujan rata-rata pertahun 1,900 mm – 3.000 mm. kelembaban berkisar 89,3 % – 133,3 %.

  1. d.      Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah di Kabupaten DATI II Batanghari terdapat lima jenis tanah yang terdiri dari :

  1. Podsolik Merah Kuning    :  779,002  Ha
  2. Alluvial                             :  123,525  Ha
  3. Gley Humus rendah          :  75,519   Ha
  4. Hidromorfik kelabu          :  99,015   Ha
  5. Orgonosol                         :  30,325   Ha
  6. e.       Luas Tanah

Kabupaten DATI II Batanghari secara administratif terdiri dari 12 Kecamatan dengan 207 desa, memiliki luas 11.187,34 m² yang terinci pada tabel berikut :

Tabel 1. Perincian Luas Wilayah Kecamatan, Jumlah Desa di Kabupaten DATI II Batanghari 1994

No.

Kecamatan

Luas (m²)

%

Desa

 1.

 2.

 3.

 4.

 5.

 6.

 7.

 8.

 9.

10.

11.

12.

Mersam

Maro Sebo Ulu

Batin XXIV

Muara Tembesi

Muara Bulian

Pemasyung

Mestong

Jambi Luar Kota

Kumpeh Ulu

Sakernan

Maro Sebo

Kumpeh

 705,10

1.143,13

 801,51

 342,42

1.200,69

 987,50

 904,39

1.133,39

 825,35

 582,27

 673,50

1.888,09

 6,30

10,22

 7,16

 3,06

10,73

 8,83

 8,08

10,13

 7,38

 5,20

 6,02

16,88

 11

 14

 15

 11

 29

 17

 21

 18

 21

 14

 19

 17

J u m l a h

11.187,34

100,00

207

Sumber Data : Kabupaten Batnghari Dalam Angka, Tahun 1994

Dari tabel diatas terlihat ada empat kecamatan yang luasnya lebih dari 1.000 m², yakni Kecamatan Sebo Ulu, Muara Bulian, Jambi Luar Kota dan Kumpeh, sedangkan kecamatan yang paling kecil adalah Kecamatan Muara Tembesi.

  1. f.       Penduduk

Penduduk Kabupaten DATI II Batanghari pada akhir Tahun 1994 tercatat sebanyak 367,992 jiwa terdiri 186,738 jiwa laki-laki dan 181.254 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata 33 jiwa per kilometer, sedangkan laju pertumbuhan penduduk periode Tahun 1990 – 1994 sebesar 1,89 % [100]

Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan di Kabupaten DATI II Batanghari 1994

 

No.

Kecamatan

Penduduk

Luas (m²)

Kepadatan

 1.

 2.

 3.

 4.

 5.

 6.

 7.

 8.

 9.

10.

11.

12.

Mersam

Maro Sebo Ulu

Batin XXIV

Muara Tembesi

Muara Bulian

Pemasyung

Mestong

Jambi Luar Kota

Kumpeh Ulu

Sakernan

Maro Sebo

Kumpeh

17.690

20353

20.256

17.599

64.600

23.696

75.118

34.459

35.022

20.647

20.463

18.087

 705,10

1.143,13

 801,51

 342,42

1.200,69

 987,50

 904,39

1.133,39

 825,35

 582,27

 673,50

1.888,09

25

18

25

51

54

24

83

30

42

35

30

10

J u m l a h

367.992

11.187,34

33

Sumber Data : Kabupaten Batnghari Dalam Angka, Tahun 1994

Berdasarkan tabel 2 diatas terlihat kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah kecamatan Mestong. Tinggginya kepadatan penduduk sebagai akibat salah satu kecamatan yang merupakan sasaran tujuan transmigrasi, sedangkan kecamatan yang paling rendah tingkat kepadatannya adalah Kecamatan Kumpeh dan sekaligus merupakan kecamatan yang terluas ( 1.888,09 m² ).

  1. g.      Pekerjaan Utama Rumah Tangga

Pekerjaan Utama penduduk Kabupaten Batanghari adalah sektor pertanian termasuk didalamnya perkebunan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Kantor Statstik Propinsi Jambi Tahun 1996 pekerjaan utama Kepala Keluarga Rumah Tangga DATI II Batanghari pada tabel 3 berikut ini :

Tabel 3. Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga Penduduk Kabupaten DATI II Batanghari 1994

 

No.

Jenis Pekerjaan

Jumlah

Prosentase (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Pertanian / Perkebunan

Pertambangan / Penggalian

Industri / Kerajinan

Listrik, gas dan air

Kontruksi / Bangunan

Perdagangan

Angkutan / Transportasi

Lembaga Keuangan

Jasa

68.040

 469

 2.063

 23

 764

 4.268

 1.269

 86

 8.194

79,90

 0,55

 2,42

 0,03

 0,09

 5,00

1,50

0,10

9,60

J u m l a h

 85.156

 100,00

Sumber Data :   Kantor statistik Propinsi Jambi, Potensi Desa Kabupaten Batanghari, Tahun 1996.

 

Dari tabel 3 tersebut terlihat pekerjaan utama kepala rumah tangga penduduk Kabupaten Batanghari yang paling banyak adalah petani ( 79,90 % ), sedangkan yang paling sedikit adalah sektor listrik, gas dan air ( 0,03 % ).

  1. h.      Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Rakyat

Sesuai dengan tradisi dan jenis tanah di Kabupaten DATI II Batanghari tanaman karet sudah menjadi komoditi andalan sejak dulu, perkembangan tanaman perkebunan rakyat terlihat pada tabel 4 berikut ini :

Tabel 4.     Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman di Kabupaten DATI II Batanghari Tahun 1990 s/d 1994

 

No.

Jenis Tanaman

1990

1991

1992

1993

1994

1.

2.

3.

4.

5.

Karet

Kelapa

Kelapa Hybrida

Kelapa Sawit

Kopi

120.533

 1.533

 513

 282

132.174

 1.967

 544

13.525 305

132.648

 1.967

 548

13.375 334

134.266

1.967

628

20.233

334

136.480

2.009

707

22.103

513

Sumber Data :   Kabupaten Batanghari dalam Angka, 1996.

 

Dari tabel 4 diatas tersebut terlihat dari lima jenis perkebunan rakyat sampai tahun 1994 jenis tanaman perkebunan rakyat yang paling luas adalah tanaman karet, disusul kemudian tanaman kelapa sawit dan paling sedikit adalah tanaman kopi.

4.1.2.      Pengadaan Tanah Kas Desa

  1. a.      Panitia/Badan Pelaksanaan Pengadaam Tanah Kas Desa

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa. Sasaran yang ingin dicapai adalah mampu menggerakkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembagunan dan mampu menyelenggarakan administrasi pemerintah desa. Sasaran tersebut diarahkan untuk mewujudkan desa yang mampu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, baik pembiayaan kegiatan rutin maupun biaya pembangunan dan mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut Pemerintahan Daerah Tingkat I Jambi mengeluarkan kebijaksanaan yang dikenal dengan Tri Program Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi. Salah satu isi dari program itu adalah Pengadaaan Kas Desa.

Menurut Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No. 6 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan pengadaaan Tanah Kas Desa, pengadaan tanah kas desa dilakukan sebuah panitia yang terdiri dari :

  1. Penanggung Jawab                  :     Asisten I SETWILDA Tingkat I Jambi
  2. Pembantu Penanggung Jawab       : Bupati Kepala Daerah TK. II
  3. Pimpinan Proyek                     :     Kepala Biro Bina Pemerintah Desa SETWILDA Tingkat I Jambi
  4. Pembantu Pimpinan Proyek    :     Kepala Bagian Pemerintahan SETWILDA Tingkat II
  5. Bendaharawan Proyek            :     Staf Biro Keuangan SETWILDA Tingkat I Jambi
  6. Bendaharawan PUMC

(Pemegang Uang Muka cabang):  Staf Sekretariat Wilayah/ Tingkat II

  1. Pengawas Lapangan                :     Camat yang bersangkutan.

Penelitian/badan pelaksana pengadaan tanah kas desa ini dilengkapi dengan Tim teknis proyek, antara lain :

  1. Tim teknis Tingkat I yang terdiri atas Staf biro Bina Pemerintahan Desa SETWILDA Tingkat I Jambi, Staf Dinas Pertanian tanaman Pangan dan Staf Dinas Perkebunan Propinsi Jambi.
  2. Tim Teknis Tingkat II terdiri atas Kepala Bagian Pemerintahan SETWILDA Tingkat II,  Kepala Dinas Perkebunan dan atau Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Daerah Tingkat II.
  3. Petugas Teknis Lapangan yang terdiri dari Mantri Pertanian / Perkebunan atau Petugas Penyuluhan Lapangan (PPL).

Adapun tugas dan tanggung jawab masing-masing sebagai berikut :

  1. Asisten I SETWILDA Tingkat I sebagai penanggung jawab dalam pengadaan Tanah Kas Desa mempunyai tugas dan tanggung jawab :
    1. Bertanggung jawab atas pengaturan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian proyek, sesuai dengan ketntuan dan jadwal yang telah ditentukan.
    2. Memberi laporan dan pertanggung jawaban atas pelaksanaan proyek kepada Gubernur Kepala Daerah.
    3. Bupati Kepala Daerah Tingkat II sebagai Pembantu Penanggung Jawab dalam pengadaan Tanah Kas Desa mempunyai tugas dan tanggung jawab :
      1. Memberikan pengarahan dan petunjuk tertulis pelaksanaan bantuan Tanah Kas Desa, sebagai penjabaran dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam instruksi.
      2. Mengkoordinasikan kegiatan instansi dan dinas yang berkaitan dengan pelaksanaan bantuan Tanah Kas Desa di daerah yang bersangkutan.
      3. Menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan bantuan Tanah Kas Desa tersebut.
      4. Meningkatkan penyediaan dana dalam APBD Tingkat II dan sumber-sumber lainnya termasuk swadaya masyarakat untuk menunjang pelaksanaan bantuan Tanah Kas Desa tersebut.
      5. Menjamin keberhasilan pelaksanaan bantuan Tanah Kas Desa melalui tertib perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan laporan.
      6. Memberikan laporan kepada penanggung jawab.
      7. Kepala Biro Bina Pemerintahan Desa sebagai Pimpinan Proyek dalam pengadaan Tanah Kas Desa mempunyai tugas dan tanggung jawab :
        1. Bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan dan pengendalian / pengawasan proyek.
        2. Melakukan pengendalian/pengawasan langsung ke lapangan.
        3. Memberikan laporan dan pertanggung jawaban atas pelaksanaan seluruh proyek kepada penanggung jawab.
        4. Kepala Bagian Pemerintahan SETWILDA Tingkat II sebagai Pembantu Pimpinan Proyek mempunyai tugas dan tanggung jawab :
          1. Bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan dan pengendalian / pengawasan proyek untuk masing-masing Kabupaten Daerah Tingkat II.
          2. Berkewajiban untuk memberikan laporan kepada Pimpinan Proyek.
          3. Bendaharawan Proyek berkewajiban dan penanggung jawab menyelesaikan segala sesuatu yang berkenan dengan keuangan proyek, antara lain :
            1. Memberikan bimbingan teknis dalam pelaksanaan proyek sesuai dengan keputusan dan ketentuan teknis dari instansi teknis.
            2. Memonitor dan mengadakan evaluasi / peninjauan / penelitian langsung ke lokasi proyek terhadap perkembangan proyek.
            3. Memberikan laporan atas hasil monitoring tersebut kepada Pimpinan Proyek.
            4. Camat sebagai pengawas lapangan proyek mempunyai tugas dan tanggung jawab :
              1. Memberikan bimbingan teknis pelaksanaannya kepada Kepala Desa.
              2. Menjamin keberhasilan pelaksanaan melalui tertib perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan laporan.
              3. Memonitor dan mengadakan evaluasi perkembangan pelaksanaan proyek sebagai dasar untuk meningkatkan bimbingan dan pembinaan.
              4. Dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya Camat dibantu oleh Kepala Urusan Pembangunan Kecamatan.
              5. Tim Teknis Proyek Tingkat I dan Tingkat II berkewajiban untuk :
                1. Memberikan bimbingan teknis dalam pelaksanaannya proyek sesuai dengan keputusan dan ketetntuan teknis dari instansi teknis.
                2. Memonitor dan mengadakan evaluasi/peninjauan/penelitian langsung ke lokasi proyek terhadap perkembangan proyek.
                3. Memberikan laporan atas hasil monitoring tersebut kepada Pimpinan Proyek.
                4. Petugas Teknis Lapangan, Berkewajiban :
                  1. Memberikan petunjuk teknis dan mengawasi pelaksanaan proyek disetiap  lokasi / desa agar berhasil sesuai dengan target dan jadwal yang telah ditetapkan oleh tim teknis.
                  2. Memberikan laporan perkembangan/prestasi proyek secara berkala kepada Pembantu Pimpinan Proyek.

Untuk pelaksanaan kegiatan pengadaan Tanah Kas Desa di Kabupaten DATI II Batanghari telah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya, diantara Instruksi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Batanghari No. 143/601/1987 tentang Tahap Pelaksanaan Tanah Kas Desa dalam Kabupaten DATI II Batanghari.

Menurut instruksi tersebut kegiatan pertama yang dilakukan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Batanghari mengadakan pertemuan dengan Camat / Kepala Kecamatan Perwakilan untuk mengatur operasional pengadaan Tanah Kas Desa di wilayahnya masing-masing. Seterusnya Camat/Kepala Kecamatan Perwakilan mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa diwilayahnya guna menjelaskan tentang data Tanah Kas Desa yang dibeli, baik karet, kopi atau sawah, selanjutnya Kepala Desa diberi waktu lebih kurang sebulan untuk mencari calon lokasi Tanah Kas Desa yang jumlahnya boleh lebih dari satu lokasi.

Apabila sudah diperoleh, kemudian Kepala Desa melaporkan kepada Camat / Kepala Kecamatan Perwakilan dan seterusnya Camat/Kepala Kecamatan Perwakilan menugaskan kepada Mantri  Pertanian/Perkebunan beserta PPL untuk meniliti calon lokasi yang dilaporkan Kepla Desa. Hasil penelitian ini selanjutnya dilaporkan kepada Bupati Daerah Tingkat II Batanghari dan tembusan  kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi. Kemudian kegiatan selanjutnya Tim Teknis Tingkat II melakukan penelitian ke lapangan.

Tahap berikunya Bupati Kepala Tingkat II Batanghari mengadakan pertemuan dengan Camat / Kepala Kecamatan Perwakilan memberitahukan tentang calon lokasi Tanah Kas Desa yang Camat / Kepala Kecamatan Perwakilan akan melengkapi persyaratan administrasi calon lokasi dan peta lokasi (Gambar Situasi) oleh Agraria (Kantor Pertahanan Kabupaten Batanghari) dan seterusnya disampaikan kepada Pimpinan Proyek untuk dibayar ganti ruginya, sedangkan bagi yang belum diterima diperintahkan kepada Kepala Desanya untuk mencari calon lokasi Tanah Kas Desa yang baru. Kegiatan ini dilakukan sampai calon lokasi Tanah Kas Desa diterima oleh Pimpinan Proyek.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan pengadaaan Tanah Kas Desa di Kabupaten dilakukan dengan dua cara yakni menbangun kebun Tanah Kas Desa dan membeli kebun atau sawah yang sudah jadi.

  1. Membangun Kebun Tanah Kas

Pengadaan Tanah Kas Desa di Kabupaten DATI II Batanghari di mulai tahun 1995 bersamaan dengan empat Daerah Tingkat II lainnya dengan biaya sebanyak Rp. 63.000.000,-

Dari dana sebanyak itu telah dibuka lahan perkebunan dengan target 18 desa dan luas 92 ha.

Komoditi yang dijadikan tanaman kebun Tanah Kas Desa adalah seperti terlihat pada tabel 5 berikut ini :

Tabel 5. Realisasi Proyek Pengadaaan Tanah Kas Desa Tahun 1985 / 1986  di Kabupaten Batanghari.

No.

Komoditi

Desa

Luas (Ha)

1.

2.

3.

4.

Karet

Kelapa

Padi

Nenas

14

1

2

1

70

5

12

5

Jumlah

18

92

Sumber data : Pemerintah Propinsi DATI I Jambi, 1987

Sampai tahun 1987 keadaan Tanah Kas Desa Proyek  Tahun 1985/1986 prosentase tanaman  yang hidup lebih dari 50% dari jumlah batang yang ditanam di Kabupaten Batanghari dari 17 desa yang tumbuh dengan baik 5 desa atau 27,7 %. [101]

Setelah lebih kurang 14 tahun dilaksanakan pengadaan Tanah Kas Desa sampai tahun 1996 terlihat pada tabel 6 berikut ini :

Tabel 6. Realisasi Proyek pengadaaan Tanah Kas Desa Tahun 1985/1986 di Kabupaten Batanghari.

 

No.

Desa

Kecamatan

Luas (m²)

Tanaman

Ket.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Kembang Paseban

Pematang Gedung

Sei Puar

Hajran

Durian Lunjut

Mata Gual

Olak Rambahan

Teluk

Pulau Ranam

Kaos

Pematang Jaring

Sei. Duren

Lopak Alai

Tangkit

Parit

Jambi Kecil

Puding

Kumpeh Ulu

sda.

sda.

Batin 24

sda.

sda.

Pemayung

sda.

sda.

sda.

Jambi L.K

sda.

Kumpeh Ulu

sda.

sda.

Moro Sebo

Kumpeh

50.662

49.993

49.986

50.000

46.387

67.540

50.160

50.098

50.098

50.087

49.992

57.314

49.906

49.992

50.000

54.491

50.000

Karet

sda.

sda.

sda.

sda.

Padi

Karet

sda.

sda.

sda.

sda.

Padi

Karet

Nenas

Karet

sda.

Kelapa

Gagal

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

sda.

Sumber data : Laporan Perkembangan TKD di Kabupaten Batanghari, 1986

Dari tabel 6 di atas tersebut terlihat, bahwa pengadaan Tanah Kas Desa dengan cara membuka Kebun Tahun Anggaran 1985/1986 semua mengalami kegagalan ini disebabkan rendahnya kemampuan desa, jauhnya lokasi Tanah Kas Desa dari desa dan lamanya jangka waktu menunggu produksi (disadap), sehingga kurangnya perawatan atau pemeliharaan.

Kebun-kebun Tanah Kas Desa yang mengalami kegagalan tersebut melalui Anggaran Tahun 1993/1994 telah diganti dengan Tanah Kas Desa yang baru lokasi yang baru dengan tanaman kelapa sawit.

 

  1. Membeli Kebun Sawah yang sudah jadi.

Bertitik tolak dari kekhwatiran tingginya resiko kegagalan dengan cara pengadaan pembukaan kebun Tanah Kas Desa, maka tahun kedua pelaksanaan pengadaan Tanah Kas Desa Tahun 1986/1987 dilakukan perubahan dengan cara membeli kebun atau sawah yang sudah jadi.

Cara yang ditempuh pemerintah Daerah Tingkat I Jambi sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 140/3442/PUOD, Tanggal 25 Oktober 1994 tentang pengadaan dan Pengelolaan Tanah Kas Desa, sebagaiman yang dijelaskan pada point 1. tata cara pengadaan Tanah Kas Desa sebagai berikut:

  1. Pengadaan Tanah Kas Desa dapat dilakukan dengan :
    1. Memanfaatkan tanah negara, tanah ulayat dan lain-lain sejenis
    2. Pembelian
    3. Hibah atau penyerahan oleh seseorang / masyarakat / perusahaan-perusahaan kepada Pemerintah Desa.
    4. Bentuk dan jenis Tanah Kas Desa dapat berupa sawah, kebun, tambak dan bentuk usaha desa lainnya, seperti antara lain kawasan obyek wisata dan lain-lain.

Pengadaan Tanah Kas Desa dengan cara membeli kebun atau sawah yang sudah jadi dilakukan melalui beberapa tahapan, sebagai berikut :

  1. Pada tahap pertama Kepala Desa dibantu oleh Aparat Desa lainnya berusaha untuk mencari lokasi Tanah Kas Desa, baik di wilayah desanya ataupun di wilayah Desa tetangganya. Pencarian lokasi Tanah Kas Desa tersebut terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan Lembaga Musyawarah  Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Kemudian Kepala Desa dan anggota lainnya mencari lokasi Tanah Kas Desa sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Setelah calon lokasi diperoleh Kepala Desa melaporkan kepada Camat/Kepala Kecamatan Perwakilan. Kemudian Camat dibantu oleh Mantri Perkebunan Kecamatan untuk calon lokasi berupa sawah, akan mengadakan penelitian pendahuluan terhadap calon lokasi yang dilaporkan Kepala Desa tersebut. Adapun hasil penelitian Tim Teknis Lapangan itu berisikan, antara lain :

Desa / Kecamatan

  1. Desa / Kecamatan
  2. Nama Pemilik
  3. Luas Areal
  4. Jarak Desa ke Lokasi TKD
  5. Umur
  6. Kondisi Kebun
  7. Jumlah Tanaman
  8. Prosentase Matang Sadap
  9. Harga Kebun
  10. Kesimpulan Peneliti. [102]

 

Kemudian hasil penelitian tersebut oleh Camat dilaksanakan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II  Batanghari dan selanjutnya Bupati dilaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat  I Jambi melalui Kepala Biro Bina Pemerintahan Desa atau Pimpinan Proyek Pengadaan Tanah Kas Desa.

Seterusnya Pimpinan Proyek menyampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat  I Jambi untuk meminta persetujuan dan petunjuk untuk mengadakan penelitian terhadap calon-calon lokasi Tanah Kas Desa. Atas persetujuan dan petunjuk dari Gubernur, maka penelitian terhadap calon lokasi Tanah Kas Desa dilakukan oleh Tim teknis Tingkat I dan dibantu oleh Tim Teknis Tingkat II.

 

  1. Tahap Penelitian / Penetapan Lokasi

Penelitian terhadap calon lokasi Tanah Kas Desa dilakukan oleh Tim teknis Tingkat I bersama-sama dengan Tim Teknis Tingkat II. Hasil penelitian tersebut dilaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi melalui penangung jawab. Berdasarkan hasil konsultasi antara penanggung jawab dengan Tim Teknis dikeluarkan keputusan/penetapan persetujuan dan menolak calon lokasi Tanah Kas Desa yang diusulkan. Persetujuan itu kemudian disampaikan  kepada  Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi untuk diminta persetujuan pembayarannya atas lokasi-lokasi Tanah Kas Desa.

 

  1. Tahap Pembayaran

Setelah ada persetujuan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi tentang lokasi Tanah Kas Desa oleh Pimpinan Proyek disampaikan kepada Pembantu Penanggung Jawab atau Pembantu Pimpinan Proyek tentang lokasi-lokasi Tanah Kas Desa yang telah disetujui untuk disiapkan berkas persyaratan untuk pembayarannya. Selanjutnya Kepala Bagian Pemerintah SETWILDA Tingkat II Batanghari memberitahukan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari melakukan pengukuran (Pembuatan gambar situasi).

Sehubungan dengan pengadaan Tanah Kas Desa di Kabupaten DATI II Batanghari berdasarkan hasil penenlitian yang dilakukan terhadap 21 Orang Kepala Desa untuk desanya Kepala Desa, bahwa waktu mencari calon lokasi Tanah Kas Desa  untuk Desa kepada Desa bersama-sama dengan anggota lainnya melakukan musyawarah dengan pemilik kebun. Adapun yang dimusyawarahkan tentang kesediaan pemilik menjual kebun untuk dujadikan Tanah Kas Desa, harganya biasanya Kepala Desa menjelaskan pula  kepada pemilik kebun tentang kegunaan Tanah Kas Desa dan dana yang tesedia untuk membeli kebun, ada pula pemilik kebun yang datang kepada Kepala Desa agar kebun karet dibeli untuk dijadikan sebagai Tanah Kas Desa, sebagaimana terlihat pada tabel 7  berikut ini :

Tabel 7. Prakarsa Penentuan Calon Lokasi Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari

n = 21

No.

Prakarsa Jumlah Prosentase

Jumlah

Prosentase

1.

2.

Kepala Desa dan Anggota lainnya

Pemilik datang sendiri

18

  3

86

14

Jumlah

21

100

 

Dari tabel 7 terlihat prakarsa penentuan calon lokasi Tanah Kas Desa yang sekarang sudah menjadi Tanah Kas Desa dilakukan oleh Kepla Desa dan anggotanya (86 %), sedangkan pemilik datang sendiri seperti Rantau Puri, Barembang dan Pematang Pulae ada sebanyak 3 orang (14 %).

Adanya pemilik yang datang kepada Kepala Desa hal ini disebabkan pemilik kebun karet di Kabupaten DATI II Batanghari memiliki kebun lebih dari satu bidang, sehingga meskipun dijual tidak bearti pemilik kebun kehilangan Mata pencaharian, seperti yang terlihat pada tabel 8 berikut ini :

Tabel 8.         Jumlah Kebun Karet Responden di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari Tahun 1997

n = 21

No.

Kebun Responden

Jumlah

Prosentase

1.

2.

Satu bidang *

Dua bidang

Tiga bidang

15

 6

71

29

Jumlah

21

100

* Satu bidang ukuran luasnya bervariasi

Adapun alasan responden bersedia menjual kebun karetnya terlihat pada tabel 9 berikut ini :

Tabel 9. Alasan  Responden Bersedia menjual Kebun Karet Untuk Tanah Kas Desa

n = 21

No.

Kebun Responden

Jumlah

Prosentase

1.

2.

3.

4.

Belum disadap

Jauh dari Desa

Butuh uang

Kepentingan Desa

12

  4

  3

 2

57

19

14

10

Jumlah

21

100

 

Dari tabel 9 tersebut terlihat alasan responden menjual kebun karetnya masih berusia muda, sehingga belum dapat disadap (57 %), sedangkan jauh dari Desa sebanyak 4 orang (19 %), dan butuh uang sebanyak 3 orang (19 %),  serta alasan untuk kepentingan desa sebanyak 2 orang (10 %).

 


  1. b.      Pelepasan Hak Atas Tanah

Agar pembayaran ganti rugi atau ganti  usaha terhadap Tanah Kas Desa dapat dibayar semuanya, perlu dilakukan terlebih dahulu pembebasan atau pelepasan hak atas tanah supaya kembali menjadi tanah yang dikuasai  oleh negara.

Pembebasan atau pelepasan hak atas tanah dilakukan oleh Camat apabila tanah tersebut luasnya kurang dari 5 Ha dan melalui Panitia Pengembangan Tanah, apabila luasnya lebih dari 5 Ha, kecuali tanah itu berstatus tanah Negara di Desa Penorokan, sebagaimana terlihat pada tabel 10 berikut ini :

Tabel 10. Berita Acara Pelepasan Hak Atas Tanah Untuk Keperluan TKD di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari

 

No.

Desa

Luas (m²)

Lokasi

Status Tanah

Pejabat  /Panitia

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Penerokan

Aro

Rantau Puri

Sei. Buluh

Olak

Napal Sisik

Jangga

Simp. Karmeo

Ma. Jangga

Jebak

Sei. Pulae

Selat

Jembatan Emas

Lubuk Ruso

Pematang Pulae

Barembang

B. Baling

Suka Maju

Sei. Bertam

Srg. Burung

Mendalo Darat

46.167

59.950

60.061

26.336

70.852

80.114

55.720

61.177

60.052

60.028

60.038

60.305

57.103

65.097

60.270

52.817

60.553

53.566

52.893

30.859

26.491

Penerokan

Kuap

Rantaupuri

Sei. Buluh

Kuap

Rambahan

Ma.Jangga

Jangga

Jangga

Jebak

Sei. Pulae

O.Rambahan

O.Rambahan

Lubuk Ruso

B. Baling

B. Baling

B. Baling

Suka Damai

Suka Damai

Ma. Pijoan

Tj. Pauh

Tnh Neg

Garapan

Mlk adat

Mlk adat

Garapan

Garapan

Mlk adat

Mlk adat

Mlk adat

Garapan

Garapan

Garapan

Garapan

Garapan

Garapan

Garapan

Garapan

Garapan

Garapan

Mlk adat

Mlk adat

Panitia

Panitia

Panitia

Camat

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Panitia

Camat

Camat

Sumber Data :   Berita Acara Ganti Rugi/Ganti Usaha dan Pelepasan Hak Atas Tanah Desa Sampel

 

Dari tabel 10 terlihat status tanah yang dijadikan lokasi Tanah Kas Desa berasal dari tanah Negara (10 %), 12 tanah garapan (57 %) dan 7 tanah milik adat (33 %), sedangkan luas  Tanah Kas Desa (19 %) dan lebih dari 5 Ha sebanyak 17 Tanah Kas Desa (81 %), kemudian pelepasan hak atas tanah dilakukan melalui Penitia Pembebasan Tanah sebanyak 17 lokasi (81 %) dan melalui Camat sebanyak 4 lokasi (19 %).

Pelepasan hak atas tanah kebun karet yang digunakan untuk Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari dilakukan dari pemilik / yang menguasai tanah kebun karet kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Batanghari yang diwakili oleh Kepala Bagian Pemerintahan yang diselesaikan oleh Panitia Pembebasan Tanah yang dituangkan ke dalam Berita Acara Pembayaran Ganti Rugi dan Pelepasan Hak Atas Tanah yang dibuat dalam delapan rangkap, apabila luasnya lebih dari 5 Ha dan dihadapan Camat yang disaksikan oleh Kepala Desa dan Pegawai Kantor Kecamatan, apabila luasnya kurang dari 5 Ha.

Seterusnya dari hasil penelitian yang dilakukan  terhadap 21 orang responden yang pemilik / yang menguasai tanah kebun karet ikut menghadiri dan menandatangani berita acara pembayaran ganti rugi/ganti usaha dan pelepasan hak atas tanah yang pemilik / yang menguasai tanah kebun karet.

 

  1. c.       Pembayaran Ganti Rugi atau Ganti Usaha

Pembayaran Ganti Rugi atau Ganti Usaha kepada pemilik kebun langsung dilaksanakan di Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Batanghari oleh Bendaharawan Pemegang Uang Muka (PUMC) Tanah Kas Desa bersamaan dengan acara pembebasan atau pelepasan hak atas tanah.

Pembayaran ganti rugi atau ganti usaha besarnya bervariasi, tergantung dengan status tanahnya, jumlah batang karet yang tumbuh, dan usia karet, kemudian ditaksir oleh Panitia Pembebasan Tanah. Penaksiran ini tidak jauh berbeda dengan “ harga jual” yang ditawarkan oleh pemilik kebun, pembayaran ganti rugi atau ganti usaha terlihat pada tabel 11 berikut ini :

Tabel 11.       Alasan  Responden Bersedia Menjual Kebun Karet Untuk Tanah Kas Desa

 

No.

Desa

Luas (m²)

Jumlah Ganti Rugi / Ganti Usaha (Rp.)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

 

 

Penerokan

Aro

Rantau Puri

Sei. Buluh

Olak

Napal Sisik

Jangga

Simp. Karmeo

Ma. Jangga

Jebak

Sei. Pulae

Selat

Jembatan Emas

Lubuk Ruso

Pematang Pulae

Barembang

B. Baling

Suka Maju

Sei. Bertam

Srg. Burung

Mendalo Darat

46.167

59.950

60.061

26.336

70.852

80.114

55.720

61.177

60.052

60.028

60.038

60.305

57.103

65.097

60.270

52.817

60.553

53.566

52.893

30.859

26.491

3.000.000,=

2.900.000,=

3.000.000,=

2.800.000,=

3.000.000,=

3.000.000,=

2.900.000,=

2.900.000,=

2.900.000,=

2.800.000,=

2.800.000,=

2.900.000,=

2.900.000,=

2.800.000,=

3.000.000,=

2.800.000,=

3.000.000,=

2.800.000,=

2.800.000,=

2.500.000,=

2.400.000,=

 

Sumber Data :   Berita Acara Ganti Rugi/Ganti Usaha dan Pelepasan Hak Atas Tanah Desa Sampel

Dari tabel 11 terlihat jumlah ganti rugi atau ganti usaha besarnya bervariasi, jumlah penggantian yang paling besar adalah sebesar Rp. 3.000.000,- dan paling sedikit sebanyak Rp. 2.400.000,-.

Setelah selesai pembayaran ganti rugi atau ganti usaha, maka tanah kebun karet kembali menjadi tanah yang dikuasia oleh negara, sdangkan yang bertanggung jawab untuk pemanfaatan dan pemeliharaan Tanah Kas Desa diserahkan Kepala Desa.

4.1.   Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Kas Desa

  1. Proses Pendaftaran Tanah Kas Desa

Proses Pendaftaran Tanah Kas Desa dimulai setelah terbitnya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi menyetujui Calon Tanah Kas Desa yang diajukan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Batanghari menjadi Tanah Kas Desa. Kemudian oleh Pembantu Pimpinan Proyek dalam hal ini dijabat oleh Kepala Bagian Pemerintahan Setwilda Tingkat III Batanghari menyampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari untuk melakukan pengukuran membuat Gambar Situasi (GS).

Pembuatan gambar situasi yang diminta oleh Pembantu Pimpinan Proyek dilakukan, mengingat di lokasi Tanah Kas Desa umumnya termasuk di luar desa lengkap.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan setelah menerima surat permohonan permintaan pembuatan gambar situasi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari membentuk tim yang dipimpin oleh seksi pengukuran.

Adapun hasil dari pembuatan gamabr situasi dapat dilihat  pada tabel 12 berikut ini:

Tabel 12.         Hasil Pembuatan Gambar Situasi Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari.

No

Desa

Luas (m2)

Letak

No. dan tgl GS

01

Penerokan

46.167

Penerokan

387/89, 14-04-1989

02

Aro

59.950

Kuap

140/88, 03-02-1988

03

Rantau Puri

60.061

Rantau Puri

203/87, 29-01-1987

04

Sei. Buluh

26.336

Sei. Buluh

193/88, 03-02-1988

05

Olak

70.852

Kuap

136/88, 03-02-1988

06

Napal Sisik

80.114

Rambahan

140/87, 29-01-1987

07

Jangga

55.720

Ma. Jangga

268/89, 15-03-1989

08

Simp. Karmeo

61.177

Jangga

118/87, 26-10-1987

09

Ma. Jangga

60.052

Jangga

117/87, 26-10-1987

10

Jebak

60.028

Jebak

141/88, 03-02-1988

11

Sei. Pulae

60.038

Sei. Pulae

120/88, 03-02-1988

12

Selat

60.305

O. Rambahan

146/88, 19-02-1988

13

Jembatan Emas

57.103

O. Rambahan

145/88, 19-02-1988

14

Lubuk Ruso

65.097

Lubuk Ruso

206/87, 13-01-1987

15

Pematang Pulae

60.270

B. Baling

731/87, 06-08-1987

16

Barembang

52.817

B. Baling

1227/87, 19-09-1987

17

B. Baling

60.553

B. Baling

889/91, 05-09-1991

18

Suka Maju

53.566

Suka Damai

260/89, 15-03-1989

19

Sei. Bertam

52.893

Suka Damai

259/89, 15-03-1989

20

Srg. Burung

30.859

Ma. Pijoan

386/89, 14-04-1989

21

Mendalo Darat

26.491

Tj. Pauh

923/91, 20-08-1991

Sumber Data : Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari, 1997

 

Dari tabel 12 tersebut terlihat semua Tanah Kas Desa sudah dibuat gambar situasinya, adapun isi dari gambar situasi memuat anatara lain, letak tanah, tanda-tanda batas, luas dan penunjuk dan penetapan batas tanah.

  1. Alat-alat bukti yang diperlukan

Setelah pembuatan gambar situasi selesai dilakukan, proses selanjutnya dari pendaftaran Tanah Kas Desa adalah mengajukan permohonan Hak Pakai (khusus) kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkai I Jambi U.P Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jambi atau kepada Kepaka Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN) Propinsi Jambi melalui Bupati Kepala Daerah Tingkat II Batanghari. U.P. Kepala. Kantor Agraria Kabupaten Batanghari atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari, adapun isi permohonan tersebut adalah identitas pemohon (Kepala Desa) yang menguasai Tanah Kas Desa yang mencakup: nama, umur, kewarganegaraan/kartu tanda penduduk, pekerjaan/jabatan dan tempat tinggal.

Seterusnya keterangan tentang identitas tanah yang dimohonkan tentang letaknya, luasnya dan batas-batasnya, status tanah, jenis tanah, penguasaan tanah sekarang dan kegunaan tanah yang ditandatangani oleh pemohon.

Permohonan Hak Pakai (khusus) dilengkapi dengan alat-alat bukti (persyaratan), antara lain :

  1. Surat Keterangan Tanah (S.K.T)

Surat keterangan tanah dibuat oleh Kepala Desa tempat TKD berada, yang menerangkan tentang letak tanah, batas-batas tanah, orang yang menguasai tanah dilengkapi dengan identitasnya serta riwayat atau asal usul tanah, kemudian ditandatangani oleh Kepala Desa dan diketahui oleh Camat.

  1. Surat Pernyataan Pengakuan Pemilikan Tanah

Surat pernyataan pengakuan pemilikan tanah ini dibuat oleh Kepala Desa yang menguasai Tanah Kas Desa diketahui oleh Kepala Desa tempat Tanah Kas Desa, adapun isi surat pernyataan itu, antara lain :

  1. Letak, luas dan batas-batas tanah
  2. Pernyataan tanah tidak dalam sengketa batas atau pemi1iknya.
  3. Pernyataan tidak ada pihak lain yang mengakui menguasai atau yang berhak
  4. Keterangan tanah belum ada sertifikat.
  5. Berita acara pelepasan hak, baik dibuat dihadapan Camat maupun Panitia Pembebasan Tanah.
  6. Salinan gambar situasi tanah

Salinan gambar situasi tanah berisikan, antara lain : identitas pemohon, pelaksanaan pengukuran, keadaan tanah, batas-batas tanah, luas tanah dan penunjuk batas tanah dan surat-surat yang dimiliki pemohon, salinan gambar situasi tanah tersebut ditanda tangani oleh Kepala Seksi Pengukuran.

Kemudian permohonan tersebut oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari mempelajari dan memeriksa syarat-syarat ke1engkapannya, apabila syarat belum cukup untuk mengambil keputusan untuk melanjutkan permohonan Hak Pakai (khusus) yang dimohonkan Kepala Desa yang menguasai Tanah Kas Desa, maka Panitia A mengadakan pemeriksaan ke lapangan dan hasilnya dijelaskan dalam suatu risalah pemeriksaan tanah. Adapun isi dari pemeriksaan tanah ini, antara lain : identitas pemohon, letak tanah, luas tanah dan gambar situasi. Apabila sudah dilakukan pemeriksaan tanah, hasil pemeriksaan disatukan dengan syarat-syarat lainnya dibuat dalam rangkap enam, kemudian oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari meneruskan permohonan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi melalui KAKANWIL B.P.N Propinsi Jambi.

Setelah permohonan diterima oleh KANWIL B.P.N Propinsi Jambi seterusnya KA.KANWIL B.P.N Propinsi Jambi memerintahkan untuk meneliti semua syarat yang diajukan, apabila belum lengkap dimintakan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari untuk me1engkapinya. Sebaliknya, apabila semua syarat sudah cukup dan tidak ada keberatan untuk menerima permohonan, maka KA.KANWIL B.P.N Propinsi Jambi menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai. Kutipan dari Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai (khusus) tersebut dikirimkan kepada pemohon dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai (khusus) dapat diperhatikan tabel 13 berikut ini :

Tabel 13. Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari

 

No

Desa

Nomor dan Tanggal Surat Keputusan

01

Penerokan

N0.33/HP.2/BPN-25/89, 6 Oktober 1989

02

Aro

No.593.31/HP/36/BH/Agr/88, 15 Oktober 1988

03

Rantau Puri

No.593.31/HP/90/BH/Agr/87, 16 Juli 1987

04

Sei. Buluh

No.593.31/HP/136/BH/Agr/88, 15 Oktober 1988

05

Olak

No.593.31/HP/96/BH/Agrj88, 15 Oktober 1988

06

Napal Sisik

No.593.31/HP/136/BH/Agr/87, 5 Desember 1987

07

Jangga

N0.175/HP.2/BPN-25/90, 13 Maret 1990

08

Simp. Karmeo

No.593.31/IIP/169/DH/Agr/88, 18 Pebrutiri 1988

09

Ma. Jangga

No. 593.:U/HP/159/BH/Agr/88, 18 Pebruari 1988

10

Jebak

No.593.31/HP/29/BH/Agr/88, 8 September 1988

11

Sei. Pulae

No.593.31/HP/170/BH/Agr/88, 19 Pebruari 1988

12

Selat

No.593.31/HP/31/BH/Agr/88, 29 September 1988

13

Jembatan Emas

No.593.31/HP/21/BH/Agr/88, 29 September 1988

14

Lubuk Ruso

No.593.31/HP/96/BH/Agr/87, 19 September 1987

15

Pematang Pulae

No.593.31/HP/139/BH/Agr/87, 21 Desember 1987

16

Barembang

N0.45/HP.2/BPN-25/89, 30 Nopember 1989

17

B. Baling

N0.331/HP.2/BPN-25/91, 16 Agustus 1991

18

Suka Maju

N0.18/HP.2/BPN-25/90, 30 April 1990

19

Sei. Bertam

N0.17/HP.2/BPN-25/90, 30 April 1990

20

Srg. Burung

N0.10/HP.2/BPN-25/90, 25 Mei 1990

21

Mendalo Darat

N0.394/HP.2/BPN-25/91, 7 September 1991

Sumber Data; Kanwil BPN Propinsi Jambi, Tahun 1997

 

Dari tabel 13 terlihat ada dua pejabat yang memberikan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai (khusus), yakni atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi dan atas nama Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi  Jambi.

  1. Pemegang Hak Pakai (khusus) Tanah Kas Desa

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa setelah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi atau KAKANWIL B.P.N Propinsi Jambi menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai (khusus), kutipan Surat Keputusan tersebut dikirim kepada pemohon (penerima hak) dan kepada Kepala Kantor pertanahan Kabupaten Batanghari. Kantor Pertanahan setelah menerima surat keputusan tersebut memberitahukan kepada pemohon dan dimintakan dalam surat keputusan pemberian hak pakai, kemudian setelah pemohon memenuhi kewajibannya oleh Kepala Seksi Pendaftaran segera mendaftarkan dalam buku tanah dan terakhir menerbitkan sertifikatnya, sebagaimana terlihat pada tabel 14 berikut ini :

Tabel 14. Nomor Buku Tanah dan Nomor Sertifikat  serta Peme­gang Hak Pakai Khusus Tanah Kas Desa.

 

No

Desa

No. Buku Tanah

No. Sertifikat

Pemegang Hak

01

Penerokan

3369/1989

07-11-1989 HP.l

Pemdes

02

Aro

4945/1988

03-11-1988 HP.4

sda

03

Rantau Puri

3405/1987

28-08-1987 HP.l

sda

04

Sei. Buluh

4942/1988

31-12-1988 HP.l

sda

05

Olak

4943/1988

03-11-1988 HP.2

sda

06

Napal Sisik

3485/1987

19-12-1987 HP.l

sda

07

Jangga

2125/1990

09-05-1990 HP.5

sda

08

Simp. Karmeo

1693/1988

20-02-1988 HP.2

sda

09

Ma. Jangga

1691/1988

20-02-1988 HP.l

sda

10

Jebak

4674/1988

19-09-1988 HP.l

sda

11

Sei. Pulae

1694/1988

27-02-1988 HP.l

sda

12

Selat

4708/1988

29-09-1988 HP.4

sda

13

Jembatan Emas

4707/1988

29-09-1988 HP.3

sda

14

Lubuk Ruso

3068/1987

17-10-1987 HP.l

sda

15

Pematang Pulae

69/1988

30-01-1988 HP.5

sda

16

Barembang

2982/1991

07-08-1991 HP.10

sda

17

B. Baling

3170/1991

05-09-1991 HP.3

sda

18

Suka Maju

2832/1990

20-06-1990 HP.2

sda

19

Sei. Bertam

2833/1990

20-06-1990 HP.3

sda

20

Srg. Burung

2825/1990

20-06-1990 HP.l

sda

21

Mendalo Darat

3205/1991

09-09-1991 HP.l

sda

Sumber Data : Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari, 1997

 

Dari tabel 14 tersebut terlihat semua desa yang memiliki Tanah Kas Desa sudah memiliki sertifikat Hak Pakai (khusus) dengan pemegang haknya adalah Pemerintah Desa.

  1. Peranan Tanah Kas Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
    1. Pengelolaan Tanah Kas Desa

Salah satu tujuan dari pengadaan Tanah Kas Desa adalah agar desa mempunyai penghasilan yang cukup, baik untuk membiayai segala urusan pemerintahan desa, terutama pembiayaan urusan administrasi Pemerintahan Desa, karena kelancaran administrasi Pemerintahan Desa dapat menunjang terciptanya ketertiban dan keberhasilan dalam pemerintahan desa sekaligus dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat serta membiayai pembangunan desa.

Tujuan tersebut akan tercapai, apabila pengelolaan Tanah Kas Desa tersebut dilakukan dengan baik, mulai dari pemeliharaan, penyadapan, pelaporan dan pengawasannya.

Untuk pengelolaan Tanah Kas Desa di Kabupaten Dati II Batanghari telah dikeluarkan petunjuk-petunjuknya.

Menurut petunjuk terakhir yang diatur dalam Instruksi Gubernur Kepala Daerah TK. I Jambi No. 4 Tahun 19S7 tentang Pengadaan, Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa dijelaskan sebagai berikut :

Pengelolaan Tanah Kas Desa supaya lebih produktif, berdayaguna dan berhasilguna dapat dilaksanakan dengan cara:

  1. Diusahakan sendiri oleh pemerintah desa yang bersangkutan (swakelola)
  2. Bagi hasil dengan pihak ketiga
  3. Dikontrakkan/disewakan
  4. Gotong royong dengan melibatkan 1embaga-lembaga Pemerintahan Desa
  5. Cara-cara lain yang sesuai dengan kondisi desa yang bersangkutan.

Berdasarkan liasil penelitian yang dilakukan terhadap
21 desa sampel, semua desa menggunakan cara membagi hasil
antara Pemerintah Desa dengan penyadap. Pembagiannya
disepakati satu bagian untuk Pemerintah Desa dan dua bagian
untuk penyadap.

Cara pembagian sudah lazim dilakukan di tengah-tengah masyarakat Kabupaten DATI II Batanghari, khususnya bagi masyarakat petani karet dengan penyadap.

Hasil dari penjualan karet itu kemudian sekali dalam sebulan disimpan pada Bank Rakyat Indonesia dengan jeni-s tabungan SIMPEDES dan hasi1 itu dilaporkan kepada Camat dan oleh Camat dilaporkan pula kepada Bupati Kepala DATI II Batanghari dan terakhir Bupati Kepala Daerah TK. II Batanghari melaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah TK. I Jambi.

Hasil dari pengelolaan terhadap Tanah Kas Desa dari 21 desa yang diteliti dapat diperhatikan pada tabel 15 berikut ini :

Tabel 15. Keadaan Perkembangan Tanah Kas Desa Di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari Tahun 1997

No

Desa

Tahun perolehan

Jumlah batang

Jumlah yang disadap

Hasil akhir

01

Penerokan

1988

2.319

2.000

2.233.000,-

02

Aro

1987

2.300

400

1.207.702,-

03

Rantau Puri

1986

2.400

400

2.135.826,-

04

Sei. Buluh

1987

1.400

400

1.177.206,-

05

Olak

1987

2.400

400

526.942,-

06

Napal Sisik

1986

3.000

1.000

6.074.954,-

07

Jangga

1988

1.200

400

352.600,-

08

Simp. Karmeo

1986

2.300

400

1.687.863,-

09

Ma. Jangga

1986

2.300

400

848.000,-

10

Jebak

1987

2.400

400

1.537.949,-

11

Sei. Pulae

1987

2.400

400

1.153.899,-

12

Selat

1987

2.600

500

105.100,-

13

Jembatan Emas

1987

2.600

500

2.513.718,-

14

Lubuk Ruso

1987

2.800

1.600

6.193.722,-

15

Pematang Pulae

1987

2.400

500

2.479.506,-

16

Barembang

1988

2.400

409

1.724.496,-

17

B. Baling

1987

2.400

500

1.635.309,-

18

Suka Maju

1988

1.400

409

2.860.342,-

19

Sei. Bertam

1988

1.400

415

2.116.663,-

20

Srg. Burung

1988

1.059

300

1.292.407,-

21

Mendalo Darat

1989

1.220

200

2.059.071,-

Jumlah

45.696

12.133

41.954.275,-

Sumber Data : Pemerintah Daerah TK. II Batanghari 1997 (data diolah)

 

Dari tabel 15 tersebut terlihat dari 21 desa yang memiliki Tanah Kas Desa karet yang tumbuh sebanyak 45.696 batang, ini berarti setiap kebun Tanah Kas Desa tumbuh sebanyak 2.176 batang. Dari 45.696 yang tumbuh baru dapat disadap (produktif) sebanyak 12.133 batang, ini berarti setiap Tanah Kas Desa, kebun karet yang baru dapat disadap adalah sebanyak 578 batang, kemudian dari 12.133 batang yang dapat disadap hasil akhirnya berjumlah Rp 4.1.954.275,-, ini berarti setiap kebun Tanah Kas Desa rata-rata hasil akhirnya sebanyak Rp 1.997.823,- yang disimpan pada Bank Rakyat Indonesia dalam jenis tabungan SIMPEDES. Kemudian sebagai contoh perkembangan TKD dapat diperhatikan di Kecamatan Pemayung, sebagaimana terlihat pada tabel 16 berikut ini :

Tabel 16. Data Perkembangan Keadaan Fisik/Teknis Kebun TKD Kecamatan Pemayung Bulan Maret 1997

No

Desa

Luas

Tahun pengadaan

Jarak

KM

Keadaan kebun

Jumlah batang

Jumlah sadap

Ket.

01

Olak rambahan

5

85/86

5

Semak

Gagal

02

Teluk

5

85/86

1,5

Semak

Gagal

03

Pulau rahman

5

85/86

1,5

Semak

Gagal

04

Kaos

5

85/86

1,5

Semak

Gagal

05

Tebing tinggi

7

86/87

7

Sedang

2.000

1.200

Gagal

06

Kuap

8

86/87

7

Sedang

2.000

1.200

Gagal

07

Sp. Kubukandang

6

87/88

17

Sedang

600

500

Gagal

08

Kubukandang

6

87/88

1,5

Semak

675

500

Gagal

09

Senaning

6

87/88

9

Semak

600

500

Gagal

10

Lubuk ruso

6

87/88

12

Semak

600

500

Gagal

11

Jembatan emas

6

87/88

15

Semak

600

500

Gagal

12

Selat

6

87/88

12

Semak

600

500

Gagal

13

Ture

6

87/88

15

Semak

600

500

Gagal

14

Serasah

6

87/88

16

Semak

600

500

Gagal

15

Awin

6

87/88

25

Semak

600

500

Gagal

16

Pulau betung

6

87/88

14

Semak

600

500

Gagal

17

Lopak aur

6

87/88

13

Semak

600

500

Gagal

SumberData:KantorCamatPemayung,Tahun1997

 

Dari label 16 tersebut sebagian besar kebun Tanah Kas Desa di Kecamatan Pemayung keadaan bersemak (tumbuh rumput), ini pertanda kurangnya pemeliharaan kebun TKD, dan pada gilirannya mempengaruhi produksi dan hasi1 yang diterima.

 

  1. Perbandingan Hasil Tanah Kas Desa dengan Sumber Pen-
    dapatan Lainnya

Setelah diketahui pengelolaan dan perkembangan Tanah Kas Desa, selanjutnya akan diuraikan sumber-sumber pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang tergambar di dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa. (APPKD)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap APPKD 21 desa dalam tiga tahun anggaran sumber-sumber pendapatan desa, terlihat pada tabel 17 berikut :

Tabe1 17. Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari

No

Tahun Anggaran

Sisa Anggaran Tahun Lalu

P.A.D

Pemerintah

Lain-lainnya

01

1994/1995

26.293.650,-

105.132.450,-

165.172.500,-

7.273.700,-

02

1995/1996

30.161.100,-

99.615.400,-

170.215.900,-

10.523.600,-

03

1996/1997

36.634.150,-

127.850.850,-

189.397.850,-

8.010.500,-

Sumber Data : APPKD Desa Sampel Tahun Anggaran 1994, 1995 dan 1996

 

Dari tabel 17 tersebut terlihat istilah Sisa Anggaran Tahun Lalu, istilah ini maksudnya adalah hasil Tanah Kas Desa setiap tahun yang dicantumkan dalam APPKD yang tidak digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, baik untuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan.

Seterusnya, apabila perhatikan setiap tahun anggaran. Sisa Anggaran Tahun Lalu terlihat kecenderungan meningkat, sedangkan sumber-sumber pendapatan as1i daerah (PAD) bervariasi, demikian pula dengan sumber pendapatan dari Pernerintah dan sumber lain-lainnya yang sah.

Menurut Surat Edaran Gubernur Kepala Dati I Jambi No.143/46S/Pemdes tanggal 4 Pebruari 1991 tentang Pengawasan dan penggunaan hasil Tanah Kas Desa yag dilaksanakan dengan Surat Edaran Bupati Kepala DATI II Batanghari No.143/460/ Pemdes dijelaskan sebagai berikut :

  1. Bagi Tanah Kas Desa yang belum mencapai target pengembangan, sebesar 25% dapat dipergunakan oleh Pemerintah Desa dengan ketentuan 15% untuk santunan Kepala Desa dan Perangkatnya dan 10% untuk biaya administrasi Pemerintahan Desa yang dimasukkan dalam APPKD sebagai anggaran pengeluaran rutin.
  2. Sebesar 75% digunakan oleh Pemerintah Desa untuk membeli TKD sebagai perluasan atau pengembangan sehingga mencapai target; penerimaan tersebut tetap dimasukkan ke dalam APPKD, apabila pengeluaran pembangunan yang penerimaannya dari hasil TKD belum mencapai untuk perluasan TKD, maka dana tersebut harus tetap tergambar dalam APPKD tahun berikutnya sebagai Saldo Kas Pemerintahan Desa dan tidak dapat dipergunakan utnuk kepentingan lain.
  3. Bagi desa yang telah mencapai target perluasan, maka 100% hasil TKD dapat dipergunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa baik rutin maupun pembangunan.

Berdasarkan ketentuan di atas dihubungkan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap APPKD desa sampel untuk tiga tahun anggaran kontribusi TKD dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang tergambar pada tabel 18 berikut ini :

Tabel 18. Perbandingan Hasil TKD dan Sumber Pendapatan Lainnya di Dalam APPKD

No

T.A

T.K.D

P.A.D

Pemerintahan

Lainnya

Jumlah

01

1994

7.671.900

97.460.550

165.172.500

7.273.700

277.578.650

02

1995

9.217.500

90.397.900

170.215.900

10.523.600

280.354.900

03

1996

10.865.500

116.794.350

189.397.850

8.010.500

325.068.200

Sumber Data : APPKD Desa Sampel (data diolah)

 

Dari tabel 18 tersebut terlihat perbandingan hasil TKD dengan sumber pendapatan desa lainnya, untuk Tahun Anggaran (T.A) 1994/1995 TKD berjumlah Rp 7.671.900 (3%), Pendapatan Asli Daerah (P.A.D) lainnya berjumlah Rp 97.460.550 (35%) dan dari Pemerintah (Pemerintah Pusat, PEMDA TK. I dan PEMDA TK. II) berjumlah Rp 165.172.500 (59%) serta dari sumber pendapatan lain-lain yang sah berjumlah Rp 7.273.700 (3%), dan T.A. 1995/1996 TKD berjumlah Rp 9.217.500 (3%), PAD lainnya Rp 90.397.900 (32%), dan dari Pemerintah berjumlah Rp 170.215.900 (61%) serta dari sumber pendapatan lain yang sah Rp 10,523.600 (4%), kemudian untuk T.A. 1996/1997 TKD berjumlah Rp 10.865.500 (3,34%), PAD lainnya Rp 116.794.350 (36%), dan dari Pemerintah berjumlah Rp 189.397.850 (58,30%) serta dari sumber pendapatan lain-lain yang sah Rp 8.010.500 (2,46%).

Meskipun kontribusi TKD dalam penye1enggaraan Pemerin­tahan Desa jumlahnya tidak banyak, tetapi secara kuantitatif ada kecenderungan meningkatnya jumlah hasil TKD yang diterima masing-masing desa setiap tahun yang tergambar di dalam APPKD.

 

  1. Manfaat Tanah Kas Desa terhadap Pembangunan Desa

Menurut Pasal 2 huruf a, tujuan pengadaan TKD adalah memberikan sumber pendapatan dan pembiayaan penye1enggaran Pemerintah dan pembangunan desa. Di dalam pembangunan desa ada lima pos pengeluaran yang digunakan untuk pembangunan itu sendiri, adapun kelima pos pengeluaran pembangunan itu adalah ;

  1. Pembangunan prasarana pemerintahan desa
  2. Pembangunan prasarana produksi
  3. Pembangunan prasarana perhubungan
  4. Pembangunan prasarana pemasaran
  5. Pembangunan prasarana sosial.

Kemudian dari 21 desa yang diteliti kelima jenis pembangunan desa terdiri dari :

  1. Pembangunan prasarana Pemerintahan Desa, terdiri dari :
    1. Pemeliharaan Kantor Pemerintahan Desa
    2. Penambahan sarana Kantor Pemerintahan Desa
    3. Pembangunan Gedung Kantor Pemerintahan Desa.
    4. Pembangunan prasarana Produksi, terdiri dari :
      1. Pembelian bibit
      2. Pencadangan perluasan Tanah Kas Desa
      3. Pembelian ternak.
      4. Pembangunan prasarana perhubungan terdiri dari :
        1. Perbaikan jalan desa
        2. Pembuatan jembatan desa.
        3. Pembangunan prasarana pemasaran terdiri dari :
          1. Pembangunan pasar desa
          2. Perbaikan pasar desa.
          3. Pembangunan prasarana sosial terdiri dari :
            1. Perbaikan mesjid
            2. Perbaikan madrasah
            3. Pembinaan kegiatan generasi muda
            4. Pembangunan sarana olah raga.

Dari 21 desa yang diteliti, 15 desa telah menyediakan anggaran setiap tahunnya yang digunakan untuk perluasan atau pengembangan Tanah Kas Desa dan lima desa belum menyediakan dana untuk perluasan TKD serta satu desa yakni desa Muara Jangga telah berhasil mewujudkan perluasannya, akan tetapi belum mencapai target seluas 30 Ha.

Meskipun dalam pembangunan desa telah disediakan dana untuk perluasan TKD, tetapi dana tersebut bukan berasal dari hasil TKD, melainkan berasal dari sumber-sumber pendapatan desa lainnya.

Belum adanya hasil TKD digunakan untuk biaya pembangunan desa, hal ini berkaitan dengan larangan yang ditentukan dalam Surat Edaran Gubernur dan Bupati.


  1. B.     PEMBAHASAN
  2. Pengadaan Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batanghari
    1. Panitia Pengadaan Tanah Kas Desa

Sebelum pembahasan tentang kepanitian TKD, terlebih dahulu dibahas cara pengadaan TKD, yakni membeli kebun atau sawah yang sudah jadi.

Setelah berlakunya UU No. 5 tahun 1960, ketentuan yang terdapat di dalam Bijblad 11372 jo 12746 tetap berlaku. keberlakuannya dikuatkan pula dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria No.Ba.5/282/5 tanggal 28 Mei 1969 tentang Panitia Pembelian Tanah Pemerintah, sebagaimana terlihat pada point 1 sebagai berikut :

Dalam hal sesuatu Instansi Pemerintah atau suatu Badan Hukum Pemerintah bermaksud untuk mengadakan jual-beli/ pembebasan atas tanah kepunyaan perorangan hendaknya ditempuh dengan menggunakan prosedur lewat Panitia Pembelian Tanah untuk keperluan dinas sebagaimana dimaksud dalam Bijblad 11372 jo 12746.

 

Ketentuan di dalam Bijblad ini sampai Tahun 1975 tetap berlaku untuk rnemenuhi kebutuhan tanah dari pemerintah dalam riie 1 aksanakan pembangunan.

Menurut AP. Parlindungan “Ketentuan Bijblad 11372 Jo 12746 kurang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka banyak pemerintah daerah membuat ketentuan sendiri mengenai pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah daerah masing-masing”[103]

Untuk mengatasi kurang seragamnya kelentuan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah, oleh Direktorat Jenderal Agraria dikeluarkan S.E. No.Ba.12/108/12/75 tanggal 3 Pebruari 1975 tentang Pelaksanaari Pernbebasan Tanah.

Meskipun telah dikeluarkan Surat Edaran tersebut belum mampu juga memenuhi kebutuhan tanah yang diperlukan oleh pemerintah, sebagai akibat meningkatnya pembangunan yang kesemuanya membutuhkan tanah, sementara dipihak lain tanah negara yang terse.dia terbatas jumlahnya.

Untuk mengatasi hal itu dikeluarkan PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara pembebasan Tanah.

Berlakunya PMDN No.15 Tahun 1975, maka Bijblad 11372 jo 12746 dinyatakan tidak berlaku, sehingga apabila pemerintah membutuhkan tanah untuk kepentingan pembangunan harus mengacu kepada PMDN No. 15 Tahun 1975, sebab menurut SE. Dirjen Agraria No. Btu.10/178/10/78 tanggal 10 Oktober 1978 sebagai berikut :

Dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, hak eigendom, opstal, erfpacht sudah tidak ada lagi, dan sebagai gantinya hak-hak atas tanah yang disebut hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Hak-hak tersebut tidak dapat dipunyai oleh Instansi/Lembaga Pemerintah, oleh karena tidak dapat dikuasai oleh Instansi/Lembaga Pemeritah melalui jalur jual-beli (periksa Pasal 6, 30 ayat 2, 36 ayat 2 UUPA) melainkan harus melalui prosedur pembebasan/pelepasan hak atas tanah untuk selanjutnya dimintakan hak pakai. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan dalam Bijblad 11372 jo 12746 tidak berlaku lagi, karena sudah tidak sesuai dengan Peraturan Perundangan Agraria yang berlaku dewasa ini, antara lain misalnya dengan Peraturan Pemerintah No.10/1961 Pasal 19.

 Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tersebut sejalan dengan pemikiran Notonegoro salah seorang Konseptor UU No. 5 Tahun 1960 yang menjelaskan tentang hubungan negara dengan tanah sebagai berikut :

” …………. kalau hak khusus itu dibeli oleh negara atau diberikan kepada negara apakah mungkin hak itu beralih kepada negara? Jawabannya tidak mungkin, sebab kalau mungkin itu berarti bahwa dalam sistem agraria kita lalu ada hak milik negara yang dulu sudah kita bicarakan, sebaiknya jangan demikian. Hubungan langsung antara negara dengan tanah jangan sampai mempunyai sifat privat-rechtelik”.50)

 

Berdasarkan pandangan Notonegoro di atas jelas dalam proses peralihan hak dari seseorang yang menguasai atau memiliki hak khusus seperti Hak Milik kepada Pemerintah (negara) dilakukan dengan jual beli tidak dapat dilakukan, oleh karena negara tidak mungkin ada hak milik negara.

Mengingat semakin meningkatnya pembangunan, disamping ingin menyukseskan pembangunan itu sendiri, sementara tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan itu tidak terlalu luas, oleh Menteri Dalam Negeri memandang perlu mengeluarkan PMDN No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara pengadaan tanah untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah Kecamatan.

Dari uraian tersebut jelaslah di dalam pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah hanya ada dua peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum, apabila pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan.

Menurut PMDN No.15 Tahun 1975, Panitia Pembebasan Tanah jumlahnya terdiri delapan orang, sedangkan menurut PMDN No. 2 Tahun 1985 tidak dijelaskan jumlah panitianya, tetapi hanya ditentukan pengadaan tanah untuk keperluan proyek dilaksanakan Pimpinan proyek dengan memberitahukan kepada Camat dan di dalam meneliti status tanah Camat dapat mengadakan konsultasi dengan instansi teknik dan di dalam menentukan ganti rugi bangunan atau tanaman harus berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum atau Dinas Pertanian.

 

Kemudian menurut Pasal 3 PMDN No. 15 Tahun 1975 ditentukan tugas panitia sebagai berikut :

  1. Mengadakan inventarisasi  serta  penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanaman, tumbuhan dan bangunan-bangunan;
  2. Mengadakan perundingan dengan cara pemegang hak atas tanah dan bangunan/tanaman;
  3. Menaksir besarnya  ganti rugi  yang akan  dibayarkan kepada yang berhak,
  4. Membuat berita acara ganti rugi pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangannya;
  5. Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman tersebut.

 

Apabila dihubungkan dengan cara pengadaan TKD yang dilakukan di Kabupaten Dati II Batang Hari, sebagaimana yang ditentukan dalam S.E. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Batang Hari No. 143/601/1987, Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Batang Hari yang dibentuk berdasarkan S.K. Bupati tanggal 1 Oktober 1981 secara formal tidak ikut serta. dari awal pengadaan tanah, kecuali sebagian anggotanya seperti Kepala Bagian Pemerintahan, Camat dan Kepala Desa dengan status tidak sebagai anggota Panitia Pembebasan Tanah.

Panitia Pembebasan Tanah baru ikut serta saat melakukan penaksiran ganti rugi, membuat berita acara pelepasan hak atas tanah dan menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada pemilik kebun karet, yang dilakukan di Kantor Bupati Kepala Daerah TK. II Batang Hari.

Ketidak terlibatan Panitia Pembebasan Tanah/Pimpinan Proyek secara formal dalam proses awalnya, mengingat luasnya tanah atau banyaknya calon lokasi TKD dan jauhnya jaraknya ke lokasi TKD tentunya Panita Pembebasan Tanah yang jumlah. anggota terbatas akan kesulitan melakukan tugas dengan baik, semetara dipihak lain proyek pengadaan TKD tergantung pula dengan tahun anggaran yang dana disediakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi melalui APBDnya.

Cara yang dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Batang Hari cukup baik membantu Panitia Pembebasan Tanah dan Pimpinan Proyek dalam melaksanakan tugasnya, karena kesepakatan antara yang memerlukan Tanah (Pemda TK. II Batang Hari) dengan pemilik kebun karet melalui musyawarah sudah terjadi kesepakatan sebagai inti sahnya pelepasan hak atas tanah. Kesepakatan melalui musyawarah lebih bermakna, karena dilakukan dengan suasana kekeluargaan tanpa ada paksaan dari pihak-pihak tertentu, sehingga unsur kesuka-relaan lebih nampak dalam pengadaan Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari.

  1. Pelepasan Hak Atas Tanah

Mengingat banyaknya kendala pengadaan tanah untuk TKD Tahun 1985/1986 oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi untuk tahun 1986/1987 sampai tahun 1991 diubah dengan cara membeli kebun atau sawah yang sudah jadi.

Menurut Surat Edaran Dirjen Agraria No.2.4/DJA/VII.5/7/78 tanggal 1 Juli 1978 setiap pembelian tanah untuk kepentingan pemerintah dilengkapi dengan pembuatan akta Notaris.

Surat Edaran di atas ditinjau kembali dengan SE. Dirjen Agraria No. Btu. 10/178/10/78 tanggal 9 Oklober 1078, karena cara yang ditentukan dalam SE.24/DJA/VII.5/7/78 tersebut akan menimbulkan akibat, antara lain :

  1. Diperlukan dua pengeluaran pembiayaan yaitu biaya untuk Panitia Pembebasan Tanah berdasarkan PMDN No.15 Tahun 1975 sebesar 1,5% dan biaya administrasi 1 %, juga untuk notaris.
  2. Menimbulkan hambatan-hambatan dalam proses penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan, karena :
    1. Tidak  semua   daerah  Kabupaten/Kotamadya  sudah  ada Notaris, kalaupun  sudah ada  notaris, wilayah kerjanya terbatas.
    2. Masih banyak tanah-tanah yang belum dilengkapi dengan sertifikat tanda bukti hak, bahkan masih banyak tanah-tanah yang belum jelas status tanahnya. Dalam hal ini yang paling banyak mengetahui dan berwenang untuk menentukan status hak atas tanahnya adalah Instansi Agraria bekerja sama dengan unsur-unsur Pemerintah di tingkat Kecamatan dan Desa.

 

Bertitik tolak dari kendala-kendala di atas, seyogianya pelepasan hak atas tanah dilakukan dihadapan Panitia Pembebasan tanah.

Apabila diperhatikan tabel 10 pelepasan hak atas tanah dilakukan melalui Panitia Pembebasan Tanah, apabila luasnya lebih dari 5 Ha, kecuali Tanah Kas Desa di Penorokan yang luasnya kurang dari 5 Ha, hal ini karena TKD Desa Penorokan berstatus tanah negara, sedangkan TKD yang berstatus tanah milik adat yang luasnya kurang dari 5 Ha pelepasan hak atas tanah dilakukan oleh Camat.

Cara pelepasan hak atas tanah kebun karet yang digunakan untuk Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari, dilihat dari luas tanah yang diserahkan dilepaskan dan Panitia/Pejabat yang menyaksikan pelepasannya serta berita acara pelepasannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur, baik dalarn PMDN No. 15 Tahun 1975 maupun PMDN No. 2 Tahun 1985 serta Peraturan pelaksananya.

 

  1. Pembayaran Ganti Rugi

Menurut PMDN No.15 Tahun 1975 dan PMDN No.2 Tahun 1985 setiap pelepasan hubungan hukum dari pemegang hak yang menguasai hak atas tanah dilakukan dengan memberikan ganti rugi. Ganti Rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas lainnya .

Pembayaran ganti rugi atau ganti usaha didalam pengadaan TKD di Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari dalam menentukan jumlahnya dilakukan oleh penaksiran Panitia Pembabasan Tanah, yang sebenarnya sudah disepakati oleh Panitia pengadaan TKD dengan pemilik kebun, jumlahnya tergantung kepada status hak atas tanah,  lokasi,  kebun karet, jumlah tanaman karet, usia karetnya (lihat tabel 11).

Berdasar tabel 11 tersebut jumlah ganti rugi atau ganti usaha jumlah bervariasi, sedangkan bentuknya adalah berupa uang. tidak berbentuk tanah atau fasilitas lainnya, ha1 ini disebabkan pemilik kebun karet yang dibebaskan atau dilepaskan hanya tidak mengakibatkan pemilik kebun kehilangan sumber penghasilannya.

Lancar ganti rugi atau ganti usaha, disebabkan karena pendekatan yang dilakukan baik oleh Kepala Desa maupun Camat saat mencari lokasi tanah kas Desa. Pendekatan yang dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan penjelasan maksud dan tujuan pengadaan TKD, di samping kebun karet yang dijual bukanlah satu-satunya kebun karet pemilik kebun, maka dalam menentukan. besar “harga jual” pemilik kebun di dalam menentukan harga tidaklah menetapkan harga yang tinggi, meskipun diawali juga dengan tawar menawar antara pemilik kebun karet dengan Kepala Desa atau Camat, kecuali kebun karet tersebut terletak dekat dari rumah pemiliknya, sehingga di dalam pemberian ganti rugi tidak ada gejolak, sebagaimana yang pernah terjadi di daerah-daerah lain saat pemerintah memerlukan tanah untuk kepentingan pemerintah.

 

  1. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Kas Desa
    1. Proses Pendaftaran Tanah Kas Desa

Menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dalam upaya menjamin kepastian hukum, pemerintah melakukan pendaftaran tanah menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Hak-hak atas tanah yang secara tegas ditentukan UUPA didaftarkan adalah hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guria Bangunan, sedangkan hak-hak lainnya seperti Hak Pakai tidak ditentukan secara tegas.

Menurut A.P. Perlindungan Tidak ditentukan secara tegas pendaftaran hak pakai diduga karena kelupaan saja, mengingat tujuan pendaftaran itu untuk kepastian hukum, maka seyogianya Hak Pakai harus didaftarkan.

Keharusan pendaftaran Hak Pakai ini terlihat dari pandangan beliau sebagai berikut :

” …………… di samping Hak Milik, Hak Guna Usaha,

dan Hak Guna Bangunan harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961 (LN Tahun 1961 No. 28).

  1. Hak Penguasaan (beheer) oleh suatu departemen, jawatan atau Daerah Swatantra atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 (LN Tahun 1953 No. 14) atau peraturan perundangan lainnya sebelum berlaku-nya Peraturan Pemerintah tersebut.
  2. Hak Pakai yang jangka waktunya lebih dari lima tahun, dengan pengertian, bahwa jika jangka waktunya tidak ditentukan, maka dianggap sebagai lebih dari 1ima tahun. [104]

 

Pendaftaran ini dilakukan menurut P.P. No.10 Tahun 1961 yang diselenggarakan desa demi desa, mengingat adanya kemungkinan pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa sebagaimana yang ditentukan Pasal 2 UU No.5 Tahun 1979, maka pendaftaran desa demi desa belum terlaksana sebagaimana mestinya, di samping faktor besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, sebagaimana yang dikemukakan A.P. Parlindungan sebagai berikut :

Sampai sekarang belumlah dapat dilakukan pengukuran Desa demi desa tersebut, lebih-lebih lagi desa-desa di Indonesia sering dimekarkan, digabungkan ataupun dihapuskan, Barangkali satu-satunya daerah yang tidak mengalami perubahan desa adalah Daerah Istimewa Yogyakarta.[105]

Bertitik tolak dari kenyataan di atas Badan Pertanahan Nasional mencarikan jalan keluarnya dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1989 tentang Tata Cara Pembuatan Surat Ukur di Luar Desa Lengkap.

Menurut ketentuan di atas pengukuran dilakukan secara partial yang harus memenuhi syarat administrasi, yuridis dan teknik. Pengukuran cara ini hanya menghasiIkan sertifikat Sementara yang dilengkapi dengan gambar situasi.

Apabila dihubungkan dengan hasil penelitian, pengukuran yaitu; dilakukan adalah secara partial (pengukuran sporadis) ; yang sudah barang tentu hanya menghasiIkan gambar situasi ( lihat tabel 12) .

Proses ini langkah awal dari pendaftaran hak atas tanah yang selanjutnya diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jambi untuk pendaftaran hak atas tanah yang dilengkapi dengan alat-alat bukti/persyaratan lainnya.

  1. Alat-alat bukti yang diperlukan

Mengingat umumnya desa-desa di Indonesia, demikian pula desa-desa di Kabupaten DATI II Batang Hari tidak memiliki bukti-bukti tertulis tentang kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah dan belum pernah dilakukan pengukuran sebagai Desa Lengkap,

Untuk Pendaftaran haknya dilampirkan alat-alat bukti antara lain ;

  1. Surat Keterangan tanah
  2. Surat pernyataan pengakuan pemilik tangah
  3. Berita acara pelepasan hak
  4. Salinan Gambar situasi
  5. Risalah pemeriksaan tanah

 

Alat-alat yang digunakan untuk mengajukan permohonan Hak Pakai (khusus) cukup beralasan sebagai bahan pertimbangan yang digunakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi atau Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jambi untuk menerima atau menyetujui permohonan Hak Pakai (khusus) yang diajukan oleh Kepala Desa yang menguasai Tanah Kas Desa

Atas dasar alat bukti atau persyaratan yang diajukan baik Gubernur KDH TK I Jambi maupu KAKANWIL B.P.N. Provinsi Jambi menerima semua permohonan Hak Pakai (khusus) yang diajukan kepadanya (lihat tabel 13)

 

  1. Pemegang Hak Pakai (khusus) Tanah Kas Desa

Menurut ketentuan yang berlaku Pemerintah Desa tidak termasuk sebagai subyek hak pakai khusus, kecuali Pemerintah Daerah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (lihat tabel 14) pemegang Hak Pakai Khusus TKD adalah Pemerintah Desa bukan nama kepala Desa atau atas nama Pemerintah Daerah Tingkat ii Batang Hari.

Penetapan Hak Pakai Khusus atas nama Pemerintah Desa sesuai pula dengan Surat Menteri Dalam Negeri No.143/3003/ PUOD, tanggal 8 Agustus 1989, perihal Pelaksanaan Pengadaan Tanah Kas Desa dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 140/.3442/PUOD tanggal 25 Oktober 1994 perihal Pengadaan dan Pengelolaan. Tanah Kas Desa, menjelaskan sebagai berikut “Tanah Kas Desa adalah merupakan kekayaan desa yang harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa yang bersangkutan”.

Pertimbangan Menteri Dalam Negeri menentukan Pemerintah Desa sebagai pemegang Hak Pakai Khusus Tanah Kas Desa, disebabkan Pemerintah Desa merupakan organisasi pemerintahan terendah yang langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri identik dengan Otonomi Desa, meskipun otonomi desa tidak sama dengan Otonomi Daerah Tingkat I dan Otonomi Daerah Tingkat II, karena otonomi desa urusan dan pengembangan urusannya lahir atau berasal dari prakarsa desa itu sendiri, sedangkan Otonomi Daerah Tingkat I dan Tingkat II urusan dan pengem­bangan urusan otonominya tergantung dari Pemerintah tingkat atasnya.

 

  1. Peranan Tanah Kas Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan
    1. Pengolahan Tanah Kas Desa

Pengelolaan Tanah Kas Desa di Kabupaten DATI II Batang Hari sesuai dengan petunjuk yang di keluarkan baik oleh Gubernur KDH TK. I Jambi maupun Bupati KDH TK., II Batang Hari pengelolaannya lebih ditekan kepada hasilnya, sedangkan untuk peme1iharaan kebunnya hanya mengharapkan untuk diolah atau dikerjakan supaya menghasi1kan. Pengelolaan kebun TKD belum efektif dilakukan oleh Kepala Desanya, terutama kebun karet yang jumlah batangnya belum banyak dapat disadap, sehingga kebun TKD kurang terawat yang akhirnya dapat mengurangi produksinya (lihat tabel 15 dan 16).

Berbeda halnya dengan pengelolaan hasi1 TKD sistemnya cukup baik, paling tidak sampai mencapai target, karena mulai dari pelaporan, penyimpanan dan penggunaan serta target yang ingin dicapai terpola secara sistematis, sehingga dapat mencegah Kepala Desa dalam penggunaan secara tidak berdayaguna, meskipun disinyalir masih ada Kepala Desa tidak melaporkan hasil TKD secara jujur, sebagaimana terungkap di dalam pertimbangan Surat Edaran Gubernur KDH TK. I Jambi No.143/3790/Pemdes sebagai berikut :

Bahwa berdasarkan hasil pengamatan kami di lapangan masih banyak TKD yang seharusnya sudah menghasilkan tetapi kenyataannya belum menghasilkan dan Kepala Desa/Kelurahan yang menggunakan hasilnya tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan, bahkan ada TKD yang sudah menghasi1kan, tetapi hasilnya. tidak sesuai dengan kenyataan yang ada .

Bertitik tolak dari keadaan tersebut sayogiannya Pemerintah Daerah Tk. II Batang hari mencari solusi alternatif dari lima alternatif yang ditawarkan utama pengelolaan kebun agar dapat berhasil guna sesuai dengan tujuan pengadaan Tanah Kas Desa.

 

  1. Perbandingan Hasil TKD dengan Sumber Pendapatan Desa Lainnya.

Akibat pengelolaan kebun TKD yang belum baik membawa dampak terhadap hasil yang diperoleh, sehingga kontribusinya didalam penyelenggaraan Pemerintah Desa belum menunjukan peranan sebagai sumber utama dari pendapatan asli desa, sehingga didalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sumbangan dan bantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi dan Pemerintah Daerah Tinggat II Batang hari masih mendominasinya sebagai salah satu sumber pendapatan desa, baik untuk pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan desa.

 

  1. Manfaat Tanah Kas Desa Terhadap Pembangunan Desa

Bertitik tolak kepada Surat Edaran Gubernur Kepala Daerah Tingkat I  Jambi No. 143/468/Pemdes dan Surat Edaran Bupati kepala Daerah Tingkat II Batang Hari No. 143/460/Pemdes, bahwa Desa yang belum mencapai target pengembangan belum dapat menggunakan hasil tkd secara keseluruhannya akan tetapi baru diperkenankan sebanyak 35% dengan perincian 15% untuk santunan Kepala Desa dan perangkatnya dan 10% untuk biaya administrasi pemerintah desa yang dimasukkan dalam APPKD sebagai anggaran pengeluaran rutin sedangkan untuk pembangunan yang terdiri dari lima proses pengeluaran tersebut belum dapat digunakan sampai target perluasan atau pengembangan TKD mencapai target 30 Ha. Sehingga di dalam pembiayaan pembangunan desa masih tergantung kepada sumber pendapatan desa lainnya.

Dari uraian diatas jelas kebun TKD belum dikelola dengan baik akibatnya belum menunjukkan peranan yang berarti dan akhirnya TKD belum memberi manfaat terhadap pembangunan desa.

Meskipun demikian kalau dilihat dari setiap tahun anggaran yang tergambar dalam APPKD (lihat tabel 17 dan 18) ada kecenderungan meningkatnya jumlah hasilnya apabila keadaan tersebut dipertahankan dan menguji ulang cara pengelolaan kebun TKD dari sistem pengelolaan yang ada sekarang, tentunya untuk masa yang akan datang penyelenggaraan pemerintahan desa akan dapat mengurangi ketergantungan kepada sumber pendapatan yang datangnya dari Pemerintah yang lebih atas, sehingga desa yang diberi hak penyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri akan dapat terwujudkan.

 


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

 

  1. A.    Kesimpulan                                                                                 

Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang Aspek Hukum Tanah Kas Desa dalam sistem UUPA dan peranannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Pengadaan Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari dapat disimpulkan, antara lain :
    1. Proses pengadaan Tanah Kas Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari tidak menerapkan ketentuan PMDN No. 15 Tahun 1975 dan PMDN No. 2 Tahun 1985 sebagaimana mestinya, oleh karena pengadaan Tanah Kas Desa tersebut untuk mencari lokasi, meneliti dan bermusyawarah termasuk dalam menentukan harga jual (ganti rugi/ganti usaha) dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah Kas Desa yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur KDH TK. I Jambi, sedangkan membuat berita acara pembayaran ganti rugi dan pelepasan hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah dan Camat.
    2. Pengadaan TKD dengan cara membeli kebun dan sawah yang sudah jadi, hanya merupakan istilah teknis saja, karena peralihan hak atas tanah tidak dilakukan dihadapan PPAT, melainkan dilakukan dihadapan Panitia Pembebasan Tanah, apabila luasnya lebih dari lima hektar dan Camat, apabila luasnya kurang dari lima 11 hektar .
    3. Pembayaran ganti rugi/ganti usaha terlaksana dengan baik tanpa gejolak, karena dimulai dengan musyawarah dan menjelaskan maksud dan tujuan TKD dan dana yang tersedia, sehingga petani  tidak mematok dengan harga tinggi, disamping itu kebun karet yang dijual bukanlah satu-satu milik petani dan juga kebun karet yang dijual belum dapat disadap (usia muda).

 

  1. Pendaftaran tanah kas Desa telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena :
    1. Pendaftaran tanahnya diawali dengan pengukuran, pengukuran dilakukan secara partial (sporadis), mengingat lokasi TKD berada di luar Desa Lengkap yang menghasilkan gambar situasi (G.S)
    2. Pendaftaran haknya diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi U.P Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jambi atau KAKAWIL B.P.N Propinsi Jambi yang dilengkapi alat-alat bukti (persyaratan), yakni surat keterangan Tanah, surat pernyataan pengakuan pemilikian tanah, berita acara pelepasan hak atas tanah, selain gambar situasi dan risalah pemeriksaan tanah.
    3. Pemegang Hak pakai khusus TKD adalah Pemerintah Desa penetapan Pemerintah Desa sebagai pemegang haknya didasarkan pertimbangan desa merupakan organisasi pemerintah terendah yang langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri identik apa yang dilaksanakan baik PEMDA TK. I maupun PEMDA TK. II
    4. Tanah Kas Desa belum berperan dalam menyelenggarakan Pemerintah Desa, karena pengelolaanya lebih dititik beratkan kepada hasilnya, sehingga banyak kebun TKD kurang terawat, yang akhirnya berpengaruh pada terhadap produksi. Ini terbukti hasil TKD hanya 3% memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang digunakan untuk santunan Kepala Desa dan perangkatnya sedangkan untuk pembangunan desa hasil TKD belum dapat dimanfaatkan

 

  1. B.     Saran
    1. Untuk pengadaan Tanah Kas Desa masa mendatang dengan lokasi yang tersebar diberbagai tempat, panitia pengadaan tanah kas desa cukup dilakukan oleh panitia pengadaan tingkat Kabupaten saja, disamping menghemat biaya juga menghilangkan kesan birokratis
    2. Perlu dilakukan peninjauan ulang, cara-cara pengelolaan TKD, terutama dalam hal pemeliharaan dan sistem pengelolaan produksinya dengan memilih  alternatif lain dari lima alternatif yang ditentukan dalam Surat Edaran Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi, seperti sistem sewa/kontrak.
    3. Diganti dengan jenis tanaman komoditi lainnya, seperti kelapa sawit, agar lebih mudah pemeliharaan dan pasti produksinya.
    4. Perlu ditinjau kembali target perluasan tanah kas desa untuk menghindarkan terlalu lamanya pemerintah desa menunggu dapat menggunakan hasil tanah kas desa untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, baik untuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan desa
    5. Perlu dilakukan penyuluhan terhadap masyarakat dan aparatur pemerintahan desa serta lembaga-lembaga pemerintah lainnya tentang jenis hak atas tanah, right of disposal terjadinya penggunaan dan peralihan hak secara tidak sah antara kepala desa atau pejabat lainnya dengan pihak-pihak lain.


DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978.

________, Masalah Pencabutan Hak-hak atas tanah, pembebasan tanah dan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Indonesia, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1996.

Attamimi, A. Hamid, S. Peranan Keppres RI alam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fak. Pasca Sarjana, U.I,. Jakarta 1990 (Disertasi).

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari dan Cabang perwakilan B.P.S Kantor Statistik Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Batang Hari dalam Angka 1994, Muara Bulian, 1995.

Chatib, Saman, dkk, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Batang Hari, Muara Bulian, 1990.

Djaafar, Idris, Mengembangkan Desa Adat Dalam Pembangunan Perdesaan di Propinsi Jambi, Majalah Hukum Forum Akademika, Fak. Hukum Universitas Jambi 1994.

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar maju, Bandung, 1992.

Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Jilid 2, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

M. Ma’Moen, Antje, Pendaftaran Tanah Sebagai Pelaksanaan UUPA Untuk Mencapai Kepastian Hukum Hak-hak Atas Tanah di Kotamadya, Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1996 (disertasi)

Manan, Bagir. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Indo Hill Co,. Jakarta, 1992.

Marbun, B.N. DPR Daerah Pertumbuhan Masalah & Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984.

Parlindungan, A.P, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Cet. Keempat, Mandar Maju Bandung, 1982.

________, Parlindungan A.P, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA (Pandangan Kritis Berbagai Dalam Pelaksanaan UUPA di Daerah Jambi), Cet. Kedua, Alumni, Bandung, 1983

_______, Pendaftaran dan Konversi Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA, Alumni, Bandung, 1985

_______,Pembebasan Tanah Adat Menurut Versi UUPA Dalam Pembangunan Daerah dan Nasional, Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak, 1988 (Makalah)

_______, a, Komentar Atas UUPA, Cet. Ketujuh Mandar Maju, Bandung, 1993

_______,b,Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993

_______, Pendaftaran Tanah dan Gross Akta Hak Tanggungan Fakultas Hukum USU, Medan, 1993

_______,a, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar maju Bandung, 1994

_______,b, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju Bandung, 1994

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, Pengadaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa (TKD) di Propinsi Jambi. 1987.

Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Batang Hari dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Selayang Pandang Kabupaten Batang Hari, Muara Bulian, 1996.

Salindeho, John. Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1987.

Soeparto, R. Undang-undang Pokok Agraria Dalam Praktek Jakarta.

Soetomo, Pembebasan Pencabutan Permohonan Hak Atas Tanah Usaha Nasional, Surabaya, 1984.

Sekretariat Bina Desa/INDHRRA, Tanya Jawab, Jakarta, 1981.

Unang Sumardjo, R.H. Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Tarsito, Bandung, 1984.

Yono, Merry. Eksistensi Tanah Bengkok Dalam Hubungan Keperdataan Adat di Kabupaten Dati II Sokoharjo Pascasarjana U.S.U, 1995 (Thesis).

 

 

 


[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi

[2] Dosen Pascarsarjana USU ,Medan

[3] Dosen Pascasarjana USU Medan

[4] Dosen Pascasarjana USU Medan

[5] Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal 180.

[6] Hilman Hadikusuma, ibid, hal 181.

[7] A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA (Pandangan Kritis Berbagai Aspek Dalam Pelaksanaan UUPA di daerah Jambi) Alumni, Bandung, Get Kedua, 1983, hal 13

[8] Hilman Hadikusuma, cp.cit, hal 175.

[9] Idris_Djaafar) Mengembangkan Desa Adat Dalam Pembangunan Pe”desaa”ri”‘””di Propinsi Jambi, “Majalah Hukum Forum Akademika, Fakultas Hukum UNJA, Jambi, 1994.

[10] Konsiderans Kep. Gubernur Kepaia Daerah Tingkat I Jambi Nomor 200 Tahuri 1986.

[11] Pemerintah Daerah Tingkat I*Jambi, Biro Bina Pemerintahan Desa, Jambi, 1987, hal 37.

[12] Tanya-Jawab, Sekretariat Bina Desa/INDHRRA, 1981, hal 23

[13] Merry Yono, Eksistensi Tanah Bengkok Dalam Hubungan Hukum Keperdataan Adat di Kabupaten Dati II Sokoharjo, Program Pascasarjana USU, Medan, 1995, ha.1 11-12.

[14] Merry Yono, Ibid, hal 12.

[15] Merry Yono, Ibid

[16] A.P. Parlindungan, Komentar atas UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1993, Hal. 215.

[17] John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal 32-33.

[18] Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pem­bangunan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hal 106.

[19] A. P. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal 55.

[20] A.P. Parlindungan, Loc.cit. hal 107.

[21] A.P. Parlindungan, op.cit, hal 53.

[22] A. P, Parlindungan, Pembebasan Tanah Adat “Menurut Versi UUPA Dalam Pembangunan Daerah dan Nasional, Fak. Hukum Universitas Tanjung Pura, Pontianak, 1988.

[23] A.P. Parlindungan, op.cit, hal 59.

[24] Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Jilid 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal 20.

[25] Abdurrahman, loc.cit, hal 117.

[26] Abdurrahman, ibid, hal 117

[27] Soetomo, Pembebasan Pencabutan Permohonan Hak Tanah, Usaha Nasional, Surabaya, 1984, hal 31-32.

[28] A.P, Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akte Tanah, Alumni, Bandung, Cet. Keempat, 1982, hal 48.

[29] Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 72.

[30] A,P. Parlindungan, loc.cit, hal 107.

[31] A.P. Parlindungan, loc.cit, hal 52.

[32] A.P. Parlindungan, ibid, hal 49.

[33] Abdurrahman, loc.cit, hal 103-104.

[34] Abdurrahman, loc.cit, hal 102.

[35] A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, Get Ketujuh, 1993, hall

[36] A. Hamid 3. Attamimi, Peranan Keppres RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fak. Pascasarjana U.I. Jakarta, 1990, hal 354.

[37] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, IND-HILL. Co, Jakarta, 1992, hal 57.

[38] A.P. Parlindungan, loc.cit, hal 171

[39] A.P. Parlindungan, ibid, hal 179.

[40] A.P. Palindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Penjabat Pembuat Akta Tanah, Alumni, Bandung, Cet Keempat, 1982, hal 18.

[41] Antje M. Ma’moen, Pendaftaran Tanah sebagai Pelaksanaan UUPA untuk Mencapai Kepastian Hukum Hak-hak atas Tanah di Kotamadya Bandung, Pasca’sarjana UNPAD, Bandung, 1996, hal 173.

[42] A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 21.

[43] A.P. Parlindungan, loc.cit, hal 21.

[44] R. Soeprapto, Undang-undang Pokok Agraria dalam Praktek, Mitra Sari, Jakarta, 1986, hal 322.

[45] A.P. Parlindungan, Pendaftaran dan Konversi Hak-hak atas Tanah menurut UUPA, Alumni, Bandung, 1985, hal 27.

[46] R.H. Unang Sunardjo, ibid, hal 165-166.

[47] B.N. Marbun, DPR Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal 144.

[48] R.H. Unang Soemardjo, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Tarsito, Bandung, 1984, hal 1^0-121.

[99] Saman Chatib dkk, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kabupaten DATI II Batnghari, PEMDA TK II Batnghari, Muara Bulian, 1990, hal 16.

[100] PEMDA TK II Batanghari – BAPPEDA, Selayang Pandang Kabupaten Batanghari, Muara Bulian, 1996, hal 8.

[101] Pemerintah daerah Tingkat I Jambi, Pengadaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa di Propinsi TK. I Jambi, 1987, hal 35.

[102] Ibid, hal 49.

[103] A.P. Parlindungan, loc.cit, hal 42.

[104] A.P.Perlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar maju, Bandung, 1994, hal.17

[105] A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Grosse Akta Hak Tanggungan, Fakultas hukum USU, Medan, 1993, hal 40

Tinggalkan komentar